• Beranda
  • Berita
  • Sleman verifikasi tempat ibadah untuk minimalkan konflik

Sleman verifikasi tempat ibadah untuk minimalkan konflik

6 November 2019 18:34 WIB
Sleman verifikasi tempat ibadah untuk minimalkan konflik
Ilustrasi - Rumah ibadah empat agama berbeda dibangun berdampingan di Kecamatan Antang Kalang Kabupaten Kotim, Kalteng menggambarkan kerukunan umat beragama setempat. (FOTO ANTARA/Norjani)

Warga harus bisa membedakan rumah ibadah dan tempat ibadah.

Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) No 12.2/2019 tentang Izin Pendirian Bangunan, Tempat Ibadat dan Rumah Ibadat di Sleman yang salah satu regulasinya akan dilakukan verifikasi.

"Verifikasi itu guna membedakan perizinan antara rumah ibadah dan tempat ibadah," kata Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Sleman Wiratno di Sleman, Rabu.

Menurut dia, rumah ibadah dan tempat ibadah memiliki sisi berbeda dalam ranah sosial dan hukum. Oleh karena perbedaan itu, prosedur pendirian rumah ibadah dan tempat ibadah mengikuti tata cara dan konsekuensi yang berbeda pula.

Baca juga: Bantuan APBD rumah ibadah di Wondama diberikan ke lembaga agama

Tempat ibadah biasanya tidak memiliki persyaratan apa pun dalam proses pembangunannya dan bersifat privasi serta tidak permanen dan untuk ibadah dalam lingkup tidak melibatkan publik.

Sedangkan rumah ibadah bangunan khusus yang ada aspek sosiologis, yuridis, aturan bersama yang diikuti bersama.

"Saat ini masih ada masyarakat yang belum bisa membedakan mengenai perizinan pendirian tempat ibadah dan rumah ibadah," katanya.

Menurut dia, dispensasi pendirian rumah ibadah syarat mutlaknya adalah IMB. Sementara untuk mendirikan rumah ibadah harus memiliki izin lengkap dari Kemenag, FKUB, Bupati dan masyarakat sekitar.

"Warga harus bisa membedakan rumah ibadah dan tempat ibadah. Mendirikan masjid, gereja, vihara, pura harus ada izin lengkap. Sementara kalau mendirikan musala, langgar, kapel, sanggar dan sebagainya hanya diperlukan IMB," katanya.

Wiratno mengatakan pendirian rumah ibadah rentan bermasalah. Utamanya dalam hal perizinan, perbedaan pemahaman dan faktor lain.

Sesuai aturan rumah ibadah yang berdiri di atas tanah kas desa, tanah Pemerintah Desa (Pemdes) ataupun 'Sultanaat Grond' (SG) tetap harus ada tanda bukti kerelaan dari desa.

Baca juga: Tradisi Polri jaga rumah ibadah, dinilai positif

"Jika wakaf, sertifikat milik pribadi, pemilik surat pernyataan mewakafkan, kerelaan tanahnya dijadikan bangunan rumah ibadat," katanya.

FKUB sendiri memberikan kelonggaran dalam hal verifikasi. Terkait rumah ibadah yang sudah berdiri sebelum SKB PPh turun.

"Logikanya, tidak mungkin diminta kembali jika itu tanah SG atau berstatus milik pemdes. Jadi jangan khawatir," katanya.

Ia mengatakan, sampai saat ini tim FKUB dan Kemenag Sleman telah melakukan verifkasi sebanyak 1.000 rumah ibadah. Dari hasil verifikasi tersebut, ada beberapa yang dikembalikan berkasnya ke KUA dan dilimpahkan ke penyuluh lapangan untuk diminta keterangan.

"Ada juga kami temui di lapangan masjid bentuknya kecil tetapi surau, musala bahkan langgar lebih besar dari masjid," katanya.

Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Sleman Saban Nuroni mengatakan perlunya edukasi dan pemahaman terkait pendirian tempat ibadah agar tidak terjadi konflik sehingga semua pihak tahu perannya masing-masing.

"Penguatan kebersamaan dalam keberagaman adalah kuncinya. Artinya harus bisa memilih dan memilah agar bisa hidup berdampingan dengan menerapkan tri kerukunan umat beragama," katanya.

Baca juga: Ratusan bangunan ibadah di Bantul belum memiliki IMB

Pewarta: Victorianus Sat Pranyoto
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019