Termasuk di antaranya Arjuna Pemantau Pemilu serta Pena Pemantau Pemilu yang berdomisili di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Mereka kemudian menggugat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi.
Pemantau pemilu itu mengaku mengalami kerugian konstitusional dengan dilakukannya pemilu lima kotak pada 2019. Kerugian itu antara lain dalam melakukan pengawasan pemilu harus bekerja dalam tekanan tinggi terhadap kesehatan fisik dan psikis tanpa jaminan kesehatan.
Pemohon dalam permohonannya menekankan, secara filosofis, penyelenggaraan pemilu seharusnya menjadi sarana rakyat untuk mewujudkan kedaulatan yang bermuara tercapainya cita-cita yang termaktub pada pembukaan UUD NRI 1945, bukan sebaliknya, rakyat untuk pemilu.
Dalam sidang, salah satu pokok bahasan yang diperdalam oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi adalah banyaknya jumlah partai politik peserta Pemilu Serentak 2019, padahal Mahkamah Konstitusi pernah memutus verifikasi partai politik peserta pemilu diperketat sampai kecamatan.
Baca juga: Pemilu dipisah nasional dan lokal tak langgar prinsip pemilu serentak
Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan apabila putusan tentang verifikasi peserta pemilu dijalankan, diyakini tidak akan terjadi penambahan jumlah partai atau bahkan jumlahnya berkurang.
Namun, yang terjadi pada 2019, peserta pemilu justru bertambah.
Pada Pemilu 2014, hanya 10 partai politik nasional yang lolos verifikasi, yakni PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Sedangkan pada Pemilu 2019, ada 16 partai politik nasional yang lolos verifikasi. Selain partai pada Pemilu 2014, bertambah Partai Garuda, Partai Berkarya, Partai Perindo, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB) serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Saldi Isra mengatakan apabila partai politik bertambah banyak, calonnya pun bertambah banyak, pekerjaan petugas mengisi lembaran formulir lebih banyak pula.
Baca juga: Ketua MPR: Pemilu serentak bukti demokrasi Indonesia maju
Padahal, desain pemilu serentak selain untuk mengefektifkan sistem presidensial juga agar jumlah partai lebih sedikit. "Jangan-jangan problemnya di situ," ucap Saldi Isra.
Perjalanan verifikasi partai politik
Dalam sidang selanjutnya kemudian Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI diwakili komisioner, Hasyim Asy'ari menjelaskan proses verifikasi partai politik peserta Pemilu 2019 hingga berjumlah 16.
Saat pendaftaran dibuka, sebanyak 27 partai politik mendaftar ke KPU sebagai peserta pemilu. Sebanyak 14 partai politik diterima pendaftarannya karena dokumennya lengkap, sisanya, 13 partai politik tidak dapat diterima karena dokumennya tidak lengkap.
Partai yang lengkap itu adalah Perindo, Hanura, Nasdem, Berkarya, PAN, PDIP, PKS, Gerindra, Golkar, PSI, PPP, PKB, Demokrat dan Garuda.
PBB dan PKPI yang saat itu dinyatakan tidak lengkap melaporkan upaya pelanggaran administrasi kepada Bawaslu RI. Bawaslu kemudian merekomendasikan KPU untuk menerima pendaftaran partai politik itu.
Proses selanjutnya adalah verifikasi administrasi. Dalam verifikasi ini tidak ada satu pun partai politik nasional yang memenuhi syarat administrasi, kemudian diberikan waktu untuk melakukan perbaikan.
Setelah perbaikan, berdasarkan penelitian, KPU kemudian menyatakan terdapat 16 partai politik yang memenuhi syarat administrasi dan berhak melanjutkan tahap verifikasi faktual.
Baca juga: Syamsuddin Haris: Model pemilu serentak bukan hanya 5 kotak
Partai Garuda dan Berkarya yang saat itu tidak lolos mengajukan sengketa ke Bawaslu dan kemudian keduanya dinyatakan lolos tahap selanjutnya.
Untuk verifikasi faktual, awalnya KPU mengambil kebijakan untuk partai lama yang sudah pernah diverifikasi, verifikasi faktual hanya dilakukan di daerah otonomi baru saja.
Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 tanggal 11 Januari 2018 menyatakan tidak ada perbedaan persyaratan untuk partai lama mau pun partai baru semua harus diverifikasi faktual ulang.
Berkaitan dengan pelaksanaan verifikasi faktual tindak lanjut dari putusan Mahkamah tersebut, terdapat 16 partai politik nasional yang menjalani verifikasi faktual dengan hasil 14 partai politik nasional dinyatakan memenuhi syarat dan dua partai politik nasional, yakni PBB dan PKPI, dinyatakan tidak memenuhi syarat.
PBB dan PKPI kembali berupaya mengajukan sengketa ke Bawaslu. Permohonan PBB dikabulkan dan dianggap memenuhi syarat menjadi peserta pemilu, sedangkan permohonan PKPI ditolak.
PKPI tidak berhenti dengan keputusan Bawaslu itu dan menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pada akhirnya gugatan PKPI dikabulkan PTUN dan KPU menyatakan partai itu sebagai peserta Pemilu 2019.
Baca juga: Ahli: Terdapat inkonsistensi dalam sistem pemilu serentak RI
Verifikasi dinilai longgar
Soal verifikasi partai politik yang dilakukan KPU pada 2019, peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris yang dihadirkan dalam persidangan sebagai ahli, menilai mekanisme verifikasi yang berlangsung untuk Pemilu 2019 lebih longgar dibandingkan pemilu sebelumnya.
"Walau pun mungkin ini juga bukan kesalahan KPU, tetapi kesalahan pembentuk undang-undang juga, baik pihak DPR mau pun pihak pemerintah," tutur Syamsuddin.
Verifikasi faktual dengan membiarkan partai politik menentukan sampelnya sendiri, dikatakannya tidak akan menghasilkan verifikasi yang akurat.
Selain itu, juga tidak menghasilkan partai politik yang sungguh-sungguh layak untuk mengikuti pemilu seperti yang ditentukan oleh Undang-Undang Pemilu.
Ada pun untuk partai-partai politik baru, ia berpendapat sebaiknya tidak langsung ikut pemilu serentak nasional, melainkan untuk uji coba, mengikuti kontestasi di DPRD dengan skala yang lebih kecil.
Apabila dalam kontestasi di DPRD lolos dan memenuhi syarat untuk ikut kontestasi pada level nasional, baru dibolehkan untuk ikut pemilu pada level nasional.
"Saya pikir kalau skema pemilu pada akhirnya menuju ke sana, pilihan ini mau-tidak mau mesti dilakukan. Supaya apa? Supaya partai-partai politik baru itu belajar juga, tidak langsung meloncat ikut pemilu nasional dengan merebut kursi di DPR pusat," ucap Syamsuddin.
Baca juga: Perludem yakin permohonan pemilu dibagi nasional dan daerah tak rumit
Sementara saat memberikan keterangan, anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan menyebut terdapat masalah efektivitas serta keterbatasan waktu dalam verifikasi faktual partai politik sehingga DPR ingin hanya partai baru yang diverifikasi.
"Kemarin pembentuk undang-undang membuat yang lama itu tetap, ya, karena kami pikir memang partainya ada dan pastinya punya sekretariat, punya kantor, punya aktivitas kepartaian di situ," ujar Arteria.
Namun, kemudian dalam perjalanannya, KPU disebutnya banyak melakukan kompromi dan tidak tegas dalam mencoret partai yang dinyatakan tidak lolos.
"Kami harapkan verifikasinya bagus, ternyata orang takut, KPU-nya takut sama parpol. Coret parpolnya, jagoan semua, ya, akhirnya kompromi lagi. Akhirnya enggak verifikasi, ada uangnya, tapi tidak bisa maksimal," ucap Arteria dalam persidangan.
Simpul kerumitan pemilu serentak kini masih terus diurai untuk Pemilu Serentak 2024 yang lebih baik. Rasanya sudah cukup korban rakyat untuk pemilu, cukup sudah ratusan jiwa melayang saat pesta demokrasi.
Salah satu kerumitan, yakni banyaknya peserta pemilu pun sudah diketahui penyebabnya: verifikasi partai politik. Dari situ pun setidaknya sudah diketahui apa yang bisa mulai diperbaiki.
Baca juga: Bawaslu: Perlu penelitian dampak pemungutan suara dilakukan serentak
Baca juga: KPU nyatakan penyelenggaraan pemilu didesain kembali
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019