"Saat itu eksistensi Republik Indonesia terancam karena Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap Belanda sehingga pemerintahan lumpuh," kara Hidayat melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis.
Hidayat mengatakan pada saat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta tidak bisa menjalankan pemerintahan itu, Sjafruddin Prawiranegara beserta tokoh-tokoh lain kemudian segera membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia pada 19 Desember 1948 di Sumatera Barat.
Baca juga: Peringatan HBN kehormatan bagi Sumbar
Baca juga: Sebelum pelatihan bela negara, 23 peserta SMN diperiksa kesehatannya
Menurut Hidayat, langkah tersebut untuk menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa Republik Indonesia masih ada dan berdaulat, meskipun berkantor sementara di Sumatera Barat.
"Sikap kenegarawanan Sjafruddin sangat jelas sehingga tokoh nasional dari Partai Masyumi itu menggunakan istilah Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia untuk jabatan yang setara dengan Presiden Republik Indonesia," tuturnya.
Hidayat mengatakan, berdasarkan pernyataan Sjafruddin kepada Harian Pelita pada 6 Desember 1978, Sjafruddin memilih istilah ketua karena didorong rasa keprihatinan dan kerendahan hati.
Baca juga: Ma'ruf Amin: Bela negara itu tugas sejarah santri
Baca juga: Hari ini ada upacara Bela Negara ke-69, festival kuliner dan bazaar
Dia ternyata belum mengetahui bahwa Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta sudah memberikan mandat kepadanya karena jaringan komunikasi terputus akibat dirusak tentara Belanda.
Sebelumnya, Presiden Sukarno sudah mengirimkan telegram yang mengabarkan serangan atas ibu kota Yogyakarta pada Minggu, 19 Desember 1948 pukul 06.00. Bila dalam keadaan pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya, Presiden Sukarno menguasakan kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera.
Baca juga: Forum Bela Negara Sumbar akan tapak tilas PDRI di Solok Selatan
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019