• Beranda
  • Berita
  • Kemristek seleksi produk farmasi bangsa masuk e-katalog

Kemristek seleksi produk farmasi bangsa masuk e-katalog

8 Januari 2020 23:40 WIB
Kemristek seleksi produk farmasi bangsa masuk e-katalog
Menteri Roset dan Teknologi (Menristek) Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro (kanan) dan Executive Director Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) Dexa Group Raymond Tjandrawinata (kiri) dalam konferensi pers terkait kunjungan ke Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences Dexa Group, Bekasi, Jawa Barat, Rabu 08/01/2020). ANTARA/Martha Herlinawati Simanjuntak

Pertumbuhan industri farmasi lokal khususnya pembuatan dan pengembangan obat menghadapi tantangan antara lain bersaing dengan barang impor, regulasi yang ketat karena obat-obatan menyangkut nyawa manusia sehingga butuh proses panjang dan uji klinis s

Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek)/ Badan Riset dan Inovasi Nasional menginginkan agar industri farmasi yang ada di Indonesia  menyeleksi produk-produk inovasi karya anak bangsa termasuk produk obat atau farmasi untuk masuk ke e-katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang (LKPP).

"Kami sedang bicara dengan LKPP, nanti akan melakukan seleksi terhadap produk-produk inovasi dalam negeri apapun termasuk produk farmasi untuk ada di e-katalog yang dedicated, yang khusus hanya untuk inovasi dalam negeri. Jadi kalau anda ingin mendorong produk dalam negeri ya anda tinggal langsung ke e-katalog tersebut tanpa khawatir harus dibandingkan dulu dengan produk impor," kata Menteri Riset dan Teknologi Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro kepada wartawan saat kunjungan ke Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences Dexa Group, Bekasi, Jawa Barat, Rabu.

Kementerian Riset dan Teknologi mendorong peningkatan dan penguatan inovasi dan hilirisasi hasil riset dan pengembangan serta mendukung para peneliti dan inovator untuk menghasilkan produk yang komersial.
Baca juga: Perlahan-lahan buat produk farmasi sendiri

Menristek Bambang mengatakan agar komersialisasi produk hasil riset dan inovasi, memang pemerintah harus mengambil bagian yakni dengan pembelian produk hasil riset dan inovasi karya anak bangsa baik untuk pengadaan rutin atau melalui e-katalog.

Pertumbuhan industri farmasi lokal khususnya pembuatan dan pengembangan obat menghadapi tantangan antara lain bersaing dengan barang impor, regulasi yang ketat karena obat-obatan menyangkut nyawa manusia sehingga butuh proses panjang dan uji klinis sampai obat diberi izin edar serta investasi yang besar untuk penelitian dan pengembangan.

Untuk itu, pemerintah Indonesia memberikan insentif pengurangan pajak penghasilan bruto diatas 100 persen atau super deductible tax untuk industri yang melakukan pelatihan dan pendidikan vokasi bagi para pekerja serta kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu.

"Kita harapkan akan membuat perusahaan yang belum pernah ada untuk masuk ke penelitian dan pengembangannya dan yang sudah masuk seperti ini bisa memperbesar penelitian dan pengembangan. Kita harapkan nantinya perusahaan tidak ragu lagi untuk berinvestasi karena mendapat benefit," tutur Menristek Bambang.
Baca juga: Menperin targetkan konsumsi alat farmasi dan kesehatan tumbuh 5 persen

Executive Director Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) Dexa Group Raymond Tjandrawinata mengatakan industri farmasi dalam negeri akan semakin berkembang jika setidaknya menguasai pasar dalam negeri dan menggantikan produk atau bahan baku impor. Dia menuturkan pasar Indonesia begitu besar dengan kurang lebih 250 juta penduduk yang seharusnya diisi oleh produk farmasi karya anak bangsa.

"Alangkah bahagianya kalau kami bisa memastikan bahwa penggunaan obat modern asli Indonesia ini bukan hanya digunakan dokter-dokter tertentu tapi justru masyarakat luas 250 juta penduduk Indonesia misalnya masuk lewat program-program pemerintah lewat Jaminan Kesehatan Nasional dan lain-lain," ujarnya.

Menurut Raymond, jika obat-obatan yang dihasilkan industri farmasi dalam negeri digunakan secara masif dalam negero maka dapat dipastikan peningkatan penurunan impor untuk produk obat.

Oleh karena itu, bahan baku obat berbasis keanekaragaman hayati Indonesia harus semakin dikembangkan sehingga mampu menjadi substitusi bagi bahan baku impor dan bahan baku kimia.
Baca juga: Produk farmasi Indonesia laris manis di Kamboja
Baca juga: Kemendag dorong ekspor produk farmasi dan alat kesehatan


Dengan mampu menghasilkan bahan baku obat secara mandiri, maka bukan saja impor berkurang, tapi dapat meningkatkan devisa negara dan menjadi kebanggaan bagi bangsa.

"Kalau kita bisa melakukan substitusi obat impor bahan baku menjadi obat menggunakan bahan baku yang berasal dari obat bahan alam Indonesia itu akan mengurangi importasi dan juga meningkatkan devisa pastinya karena kita tidak beli dari luar negeri. Kalau kita bisa membuat obat sendiri, kita bisa mengekspor obat yang asli dari Indonesia, itu akan membanggakan Indonesia karena peneliti kita tidak kalah dengan peneliti asing," ujarnya.

Raymond menuturkan insentif pengurangan pajak akan meningkatkan produktivitas untuk menghasilkan produk berdaya saing tinggi dan memenuhi kebutuhan bangsa.

"Kalau ada tax incentive (insentif pengurangan pajak), sebagai industriawan tentunya kami merasa lebih diapresiasi sehingga lebih banyak lagi produktivitas ditingkatkan, lebih banyak produk yang bisa tidak hanya dipakai dalam negeri tapi juga diekspor sehingga menghasilkan devisa bagi negara," ujarnya.


Hasil penelitian dan pengembangan tidak hanya berupa produk tapi juga hak paten.

Raymond mengatakan kebanyakan orang yang mematenkan produknya di kantor Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bukanlah orang Indonesia melainkan orang luar negeri. Oleh karena itu, ke depan hak paten milik orang Indonesia harus semakin ditingkatkan.

"Negara yang punya HAKI terbanyak akan disegani sebagai negara yang benar-benar inovator menurut World Economic forum," ujarnya.
Baca juga: Menperin sebut industri produk kesehatan masih prospektif
Baca juga: Gudang produk farmasi ilegal di Semarang dibongkar

Kemenristek/BRIN dukung Bio Farma buat vaksin hepatitis C

Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020