"Seluruh material yang digunakan untuk membangun kantor pemerintahan harus legal," ujarnya di Tanjungpinang, Kamis.
Mirza mengaku baru mengetahui pasir yang digunakan untuk pembangunan gedung pemerintahan di Pulau Bintan (Kabupaten Bintan dan Tanjungpinang) diduga menggunakan pasir ilegal. Sejauh ini tidak ada laporan atau pengaduan masyarakat terkait permasalahan itu.
Menurut dia, pihak kontraktor yang mengerjakan proyek insfrastruktur pemerintahan juga tidak mungkin mau menggunakan pasir ilegal. Mereka membawa pasir tersebut dari toko bangunan, dan ada bukti transaksi.
"Tidak mungkin lah ada kontraktor yang mau atau berani membeli pasir ilegal untuk bangun kantor pemerintahan. Itu 'kan sama saja bunuh diri," ujarnya.
Mirza mengemukakan pertambangan pasir ilegal harus ditertibkan pemerintah dan aparat yang berwenang. Namun, penertiban harus diiringi dengan pembenahan kebijakan agar tidak terjadi kelangkaan pasir.
Baca juga: Pasir ilegal di Bintan rugikan masyarakat
Baca juga: Tambang pasir ilegal merajalela di Bintan
Baca juga: Mendorong negara berantas pertambangan bauksit ilegal
Kelangkaan pasir akan menghambat pembangunan, baik yang dilakukan masyarakat maupun pemerintah. Karena itu, pemerintah harus segera menetapkan kawasan pertambangan pasir agar tidak terjadi kelangkaan pasir saat dilakukan penertiban.
"Seharusnya permasalahan ini sejak dahulu diselesaikan sehingga tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari," katanya.
Berdasarkan hasil penelusuran Antara di Galang Batang dan Teluk Bakau, Bintan, aktivitas pertambangan pasir masih berlangsung. Pasir yang disedot dengan menggunakan mesin itu dimasukkan langsung ke dalam sejumlah truk.
Truk tersebut membawa pasir ke sejumlah toko bangunan. Beberapa truk lainnya langsung mengantar pasir ke rumah warga.
Harga pasir di lokasi pertambangan dengan berat 3 kubik Rp250.000. Sementara jika diantar ke rumah konsumen Rp400.000.
Di toko bangunan, harga pasir 3 kubik mencapai Rp460.000-Rp500.000, diantar sampai ke tempat pembeli.
"Itu sudah harga terendah," kata salah seorang karyawan Toko Mita Bangun di Batu 5, Kota Tanjungpinang.
Toko tersebut milik Riki. Nama Riki kerap disebut di sejumlah lokasi pertambangan di Galang Batang. Riki diduga memiliki lebih dari tiga lokasi, berdasarkan data dari Pemkab Bintan.*
Baca juga: Menelusuri pelaku pertambangan bauksit ilegal di Bintan
Baca juga: Pulau-pulau di Bintan terancam akibat tambang ilegal
Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020