Peneliti Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, Dr Mohammad Iqbal Ahnaf, menilai wacana pemulangan 600 orang asal Indonesia eks ISIS bisa dimanfaatkan sebagai sarana untuk memperkuat kampanye kontra-radikalisasi di Tanah Air, kendati perlu dikaji dengan penuh kehati-hatian.... secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut...
"Wacana ini bisa dipahami sebagai cara kita memerangi radikalisme. Harusnya ini menjadi pelajaran atau pesan bagi masyarakat kita bahwa bergabung dengan ISIS adalah sebuah kesalahan yang besar, bukan hanya ISIS saja tapi juga kelompok ekstremis lainnya," kata dia, di Yogyakarta, Senin.
Baca juga: Deputi BNPT: Tidak mudah deradikalisasi eks kombatan ISIS
Menurut dia, wacana pemulangan ke-600 orang asal Indonesia yang tergabung dalam ISIS memang harus dikaji untung rugi atau faktor risikonya dengan menempatkan aspek keamanan negara sebagai hal utama.
Baca juga: Sejumlah ormas di Yogyakarta menolak wacana pemulangan WNI eks-ISIS
Meski demikian, ia menilai perlu dibuka perspektif bahwa kemungkinan tidak semua WNI yang berangkat ke Suriah dan kemudian bergabung dengan ISIS dilandasi atas kemauan sendiri.
"Bisa saja, yang berangkat ke sana karena dibawa kemudian mengalami proses radikalisasi di sana, atau ke sana karena tertipu," kata dia.
Baca juga: Gubernur Ganjar tegas menolak pemulangan WNI eks ISIS
Pada sisi lain, kontroversi yang seru terjadi di media sosial berlandas wacana ini. Penyebutan ke-600 orang asal Indonesia itu juga dilaksankan dengan dua cara, yaitu WNI eks ISIS dan eks WNI anggota ISIS. ISIS bukanlah suatu negara --apalagi berdaulat-- namun dia memiliki sayap militer dan anggota-anggota paramiliter yang sangat militan, mendapat pelatihan militer, dan peralatan penghancur laiknya militer.
Baca juga: ISIS penggal 10 tawanan Kristen di Nigeria
Sementara di dalam UU Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan diatur tentang kehilangan otomatis hak kewarganegaraan seorang WNI, yaitu apabila (huruf d pasal 23) masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden; dan (huruf f pasal 23) secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.
Baca juga: MUI: ISIS tidak boleh bergabung dengan NKRI
Apabila wacana pemulangan orang asal Indonesia eks-ISIS direalisasikan, menurut dia, pemerintah dapat memprioritaskan pemulangan terhadap kelompok kategori rentan seperti anak-anak dan kaum perempuan atau yang paling ringan risikonya.
"Utamanya kaum perempuan, apalagi anak-anak. Jangan-jangan ada anak-anak yang lahir di sana," kata Iqbal.
Berikutnya, kata dia, ada tahapan ketat yang harus dilalui. Sebelum bisa dipulangkan, mereka juga harus menjalani proses screening (penyaringan) yang bisa dilakukan bekerja sama dengan pemerintah Suriah.
Baca juga: Pengamat: ISIS sudah tak punya hak tinggal di Indonesia
"Kemudian ketika sampai di Indonesia, mereka juga tidak bisa serta merta bergabung dengan masyarakat. Harus ada proses karantina atau pembinaan dulu sampai benar-benar hilang pengaruh buruknya," kata Iqbal.
Baca juga: Mahfud tidak setuju pemulangan 660 WNI bekas anggota ISIS
Sebelumnya, guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof Dr Hikmahanto Juwana, memandang 600 orang asal Indonesia yang tergabung dalam ISIS (eks-ISIS) telah kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.
Baca juga: Hikmahanto: WNI eks-ISIS telah kehilangan kewarganegaraannya
Hal itu, kata Hikmahanto mengacu pasal 23 UU Nomor 12/2006 tentang Kewarganegaraan.
"Nach istilah bagian dari negara asing itu bisa saja pemberontak yang hendak menggulingkan pemerintah yang sah. Bukankah ISIS (itu) pemberontak yang ada di Suriah? Bahkan mereka menggunakan cara-cara teror untuk menggantikan negara Suriah dan Irak," katanya.
Baca juga: Jimly: WNI eks-ISIS harus dicabut paspornya
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020