Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menyatakan bahwa sekalipun Indonesia dan Uni Eropa (UE) sedang bersengketa dagang di Organisasi Perdaganan Internasional (WTO) namun kerja sama penelitian mengenai kelapa sawit kedua belah pihak tetap berjalan.Tapi sekalipun kita dalam kondisi tidak nyaman dengan Uni Eropa namun kerja sama penelitian sawit tetap jalan, karena itu penting
"Terakhir advokasi, Pak Wakil Menteri Luar Negeri Mahendera Siregar di Jenewa menyatakan belum banyak perkembangannya. Tapi poinnya penyelesaian di WTO. Tapi sekalipun kita dalam kondisi tidak nyaman dengan Uni Eropa namun kerja sama penelitian sawit tetap jalan, karena itu penting," kata Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Siswo Pramono dalam diskusi yang dilakukan Yayasan Madani Berkelanjutan di Jakarta, Selasa.
Ia menyatakan pengajuan persoalan kelapa sawit dengan Uni Eropa ke WTO bukan perang sehingga penyelesaian persoalan dagang internasional secara hukum memang begitu bentuknya.
Menurut Siswo Pramono perkembangan terakhir Indonesia menggunakan teknologi Eropa untuk pemindaian DNA sawit.
"Karena kita tahu ada tiga jenis. Maunya 'kan yang sawit jenis tenera, kemarin kita sudah ketemu dengan Bupati Musi Banyuasin, mereka terapkan uji untuk bibit yang satu tahun sehingga bisa dipastikan yang ditanam itu bibit unggul semua tidak terkontaminasi dengan bibit yang produksinya hanya lima persen"," katanya.
Tenera adalah tanaman kelapa sawit unggul untuk kepentingan komersial.
Baca juga: Dubes Uni Eropa: Tidak ada larangan impor minyak sawit Indonesia
Baca juga: Jokowi dan Mahathir bersatu hadapi diskriminasi sawit Uni Eropa
Baca juga: Uni Eropa bantah isu pelarangan impor kelapa sawit
Ia mengatakan bahwa petani susah membedakan bibit sawit, karena itu bupati menggunakan dana desa untuk petani independen yang bukan berkaitan dengan perusahaan atau plasma untuk memastikan pengadaan benih sawit yang mereka beli tepat sehingga produktivitasnya tinggi.
"Intinya banyak opsi. Penelitian dengan Jerman juga jalan terus, mengupayakan tumpang sari dengan menempatkan satu sawit dengan lima pohon lain, ini menarik dan hasilnya dalam satu hektare jumlah sawitnya berkurang tapi hasilnya tidak menurun karena penyerbukannya sempurna," katanya.
Dengan cara itu Siswo mengatakan keanekaragaman hayati meningkat. Plot penelitian tumpang sari sudah dikembangkan hingga 200 hektare, petani merasakan perolehan yang berkelanjutan dengan mengkombinasikan sawit dengan jengkol, petai, durian dan dua jenis pohon kayu.
"Pengembangannya pohon sisipannya sesuai permintaan pasar lokal. Jadi kalau nanti dikembangkan di Sumatera Utara ya 'demand' di sana apa, di Kalimantan apa, nah itu bisa berbeda. Ada yang dikembangkan tumpang sari satu banding dua, hingga satu banding lima, itu cukup sukses," demikian Siswo Pramono.
Baca juga: Gugat Uni Eropa di WTO, Gapki nilai posisi Indonesia kuat
Baca juga: Indef: Pemerintah harus bantah metode UE dalam diskriminasi sawit
Baca juga: Hadapi Uni Eropa di WTO, RI gunakan tim kuasa hukum internasional
Baca juga: UE tingkatkan standar 3-MCPD, Airlangga: diskriminatif untuk sawit
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020