"Banyak tantangan yang dihadapi, baik karena harus bekerja dari rumah maupun yang terpaksa di luar rumah untuk merespon kasus dan rujukan," kata Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat di Jakarta, Selasa.
Harry menjelaskan, biasanya Peksos melakukan supervisi secara tatap muka untuk membahas kasus dan permasalahan anak, namun karena adanya kebijakan bekerja dari rumah maka terpaksa dilakukan lewat video konferensi.
Terkadang keterbatasan kuota data dan jaringan internet yang tidak stabil sehingga supervisi kurang efektif dilakukan. Di samping itu, Peksos juga harus mengeluarkan anggaran sendiri untuk membeli kuota.
Selain itu, sulitnya berkoordinasi ke dinas terkait karena alasan COVID-19, banyak yang tidak masuk kerja ke kantor.
Baca juga: 771 Sakti Peksos terjun tangani keluarga terdampak COVID-19
Baca juga: Kemensos berikan pendampingan untuk Andini
Dirjen menjelaskan, Peksos tidak hanya bekerja dari rumah, tapi juga di luar rumah terutama bagi Peksos Supervisor yang harus piket di kantor tanpa dibekali Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai dan juga harus turun ke lapangan dengan risiko terpapar penyakit tersebut.
Terkait laporan sosial (lapsos), penyidik tidak mau jika hasil asesmen hanya melalui video konferensi atau telepon tapi harus bertemu langsung dengan klien.
"Tidak semua pekerjaan sosial bisa dilakukan menggunakan sistem bekerja dari rumah, misalkan ada kasus sangat penting tidak bisa dilakukan dari rumah misalnya pendamping BAP di kepolisian yang wajib untuk datang, ada kekhawatiran tertular COVID-19," ujar Harry.
Ia mengatakan, respon kasus yang meningkat telah mengharuskan Peksos lebih jeli memilah jenis kedaruratan kasus yang harus didampingi secara langsung.
Meski di tengah pandemi, respon kasus masih berjalan karena ada rujukan untuk mengakses anak-anak korban namun ada kekhawatiran orang tua korban Peksos membawa wabah COVID-19.
Baca juga: Peksos "goes to school" cegah kekerasan anak
Baca juga: Kemensos siapkan 700 pekerja sosial rehabilitasi korban narkoba
Hambatan lain yang dihadapi, menurut Harry, adalah lambatnya melaksanakan respon kasus karena tidak dapat melakukan home visit dan hanya bisa lewat video konferensi.
Selain itu juga sulit memetakan siapa saja yang terkena pandemi corona dan mendapatkan data pasti untuk pendampingan psikososialnya, termasuk pengasuhan anak yang orang tuanya Pasien Dalam Pengawasan (PDP).
Walaupun sudah dilakukan sosialisasi oleh pemerintah pusat dan daerah, kenyataan di lapangan dalam penanganan kasus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), anak tidak diberlakukan pembatasan fisik.
Tantangan lainnya, menurut Harry, Peksos tidak dapat melakukan respon kasus karena jarak yang jauh dan harus menggunakan transportasi umum yang berisiko terpapar COVID-19.
Respon kasus yang jauh sulit dilaksanakan karena banyak akses jalan yang ditutup, dibatasi dan dilaksanakan karantina wilayah, selain itu juga karena dibatasinya moda transportasi umum darat dan laut.
Baca juga: Mensos pastikan bansos jangkau kelompok rentan terdampak COVID-19
Baca juga: Kemensos siapkan bantuan untuk tiga disabilitas terinfeksi COVID-19
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020