Di masa kecil, kalau ditanya cita-citanya, hampir sebagian besar anak ingin menjadi dokter.Virus corona adalah musuh bersama yang sedang dihadapi manusia di dunia ini, tak terkecuali di Indonesia.
Alasannya sederhana dan paling mendasar dari pilihan cita-cita itu adalah mengobati orang tuanya, saudara atau kakek dan neneknya kalau sakit. Juga guru atau teman-temannya.
Pilihan cita-cita seperti itu bisa tertanam sejak masa anak-anak tentu tidak lepas dari peran orang tua dalam membimbing atau mengarahkan masa depan bagi buah hatinya. Yakni utamanya menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.
Selain dokter, perawat juga profesi yang tak sedikit menjadi pilihan cita-cita bagi anak-anak. Pilihan spontanitas dan dalam keluguan tertanam sejak usia dini.
Orang tua diyakini berperan memberikan gambaran pilihan-pilihan profesi bagi anak-anak. Bisa jadi juga pilihan-pilihan itu atas pengalamannya, misalnya, pernah sakit semasa balita.
Yang pasti, hingga kini profesi itu masih banyak menjadi pilihan bagi anak-anak seusia prasekolah, pendidikan dini hingga Sekolah Dasar (SD). Sebagian masih konsisten dengan pilihannya itu hingga sekolah menengah dan pendidikan tinggi.
Semakin banyak pula lembaga pendidikan tinggi atau universitas yang membuka beragam jurusan bidang kesehatan. Tujuan utamanya adalah memenuhi jumlah dokter dan paramedis hingga tahap ideal.
Berbagai fasilitas kesehatan yang dibangun pemerintah maupun swasta juga semakin banyak di masyarakat. Hal itu memberi kemudahan bagi warga untuk mengakses rumah-rumah sakit dan klinik.
Kehadiran sarana, prasarana serta infrastruktur kesehatan yang semakin banyak juga seiring dengan kebutuhan yang terus meningkat. Pertambahan dan pertumbuhan penduduk menimbulkan tantangan yang semakin tidak ringan.
Beberapa penyakit seolah hadir secara rutin, seperti DBD, flu dan batuk. Itu semua membutuhkan sarana dan infrastruktur kesehatan yang memadai.
Baca juga: RSUI lakukan inovasi dalam menghadapi pandemi COVID-19
Baca juga: RSUI berikan layanan dokter secara daring
Baca juga: LAB RSUI layani pemeriksaan PCR COVID-19 dari RS Depok
Tanpa Banding
Kini, di tengah pandemi global virus corona tipe baru (COVID-19), profesi bidang kesehatan, baik dokter, perawat maupun farmasi sangat strategis. Tanpa dibanding-bandingkan, saat ini profesi di bidang kesehatan tak ada bandingnya.
Mereka berada di medan tugas sangat berat dan strategis. Dikatakan sangat berat karena bukan saja banyaknya pasien terinfeksi virus ini yang harus ditangani, tetapi juga sifat COVID-19 yang bisa menular cepat ke dokter dan paramedis.
Kontak langsung antara dokter dan paramedis dengan pasien virus corona merupakan situasi yang bisa menjadi pertaruhan hidup dan mati. Potensi penularan virus menempatkan dokter dan paramedis harus bertaruh nyawa.
Adanya dokter dan paramedis meninggal karena tertular virus corona dari pasien adalah berita buruk bagi siapapun. Padahal tak sedikit dokter dan paramedis yang meninggal di masa pagebluk ini.
Fakta itu juga menghempaskan perasaan, menambah kekhawatiran dan kecemasan masyarakat. Pemahamannya sederhana; kalau yang ahli bidang kesehatan saja bisa tumbang, apalagi masyarakat.
Betapa sedih bercampur cemas dan khawatir di benak banyak orang ketika melihat rekaman video yang beredar di aplikasi perpesanan mengenai penghormatan terakhir dan pelepasan jenazah seorang dokter yang meninggal akibat terinfeksi virus corona.
Dengan wajah tampak sedih dan mengenakan seragam kerjanya, ratusan sejawat almarhumah memenuhi halaman rumah sakit. Perlahan-lahan mobil ambulans bertuliskan "RSUD Pasar Rebo" itu beranjak dari parkir rumah sakit dengan iringan doa dan senandung "Gugur Bunga".
Beberapa pekan lalu, di halaman rumah-rumah sakit lain juga telah berlangsung prosesi serupa. Tampak berat menerima kenyataan tetapi fakta-fakta itu tak terhindarkan sebagai bagian dari risiko tugas.
Psikologis
Selain harus menghadapi tugas yang mempertaruhkan nyawa, para dokter dan paramedis di Indonesia sikap anomali sebagian masyarakat. Tak sedikit dari mereka menghadapi tekanan psikologis dari lingkungan tinggalnya.
Pertengahan Maret 2020, sejumlah perawat di salah satu rumah sakit di Jakarta Timur, mendapat penolakan ketika hendak pulang ke kost-nya. Mereka dicurigai sebagai penular virus.
Yang lebih menyedihkan, di salah satu wilayah di Jawa Tengah, jenazah seorang perawat ditolak warga ketika hendak dikuburkan. Situasi itu semakin menambah beban pikiran mereka di tengah tugas berat yang sedang dihadapi.
Baca juga: PPNI advokasi dokter dan perawat COVID-19 yang ditolak pulang warga
Baca juga: Psikolog sesalkan warga tolak tenaga medis COVID-19 pulang ke rumah
Baca juga: Soal penolakan jenazah, psikolog sebut warga butuh edukasi dan contoh
Tolak Stigma
Kapten Fitdy Eka yang sedang ditugaskan untuk memimpin tim perawat pasien COVID-19 di RS Darurat Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat, mengakui ada label buruk atau stigma dari sebagian masyarakat bahwa tenaga kesehatan (nakes) sebagai unsur penular virus corona jenis baru, SARS-CoV-2, ke masyarakat.
Dia dan seluruh tenaga kesehatan menolak stigma itu. "Mohon dengan sangat kami juga manusia yang melaksanakan ini dengan hati. Terimalah kami juga dengan hati," kata Fitdy Eka dalam jumpa pers virtual di Jakarta, beberapa hari lalu.
Fitdy optimistis wabah COVID-19 akan segera berakhir jika masyarakat disiplin dalam menerapkan protokol kesehatan.
Kedisiplinan itu akan memicu keselamatan bagi diri sendiri dan orang lain sehingga rantai penularan virus SARS-CoV-2 segera berakhir.
Dia percaya Indonesia akan kembali pulih terlepas dari pandemi global saat ini. Asalkan semua melakukan mitigasi dengan disiplin.
"Saya yakin dengan disiplin, Anda semua akan menjadi seorang pahlawan bagi diri sendiri dan orang lain," katanya.
Penekanannya adalah lindungi diri dan orang lain sehingga pesan-pesan pencegahan bisa terlaksana dengan baik. "Mari sama-sama memenangkan perang ini," kata dia.
Dalam situasi berat itu, tampaknya pemberian fasilitas tinggal di hotel oleh pemerintah daerah termasuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta patut diapresiasi. Begitu juga kebijakan pemerintah menaikkan tunjangan mereka sebagai langkah sangat tepat.
Sebaliknya, kalau ada yang "nyinyir" atas pemberian fasilitas dan kebijakan itu justru harus dipertanyakan sikapnya. Namun menyikapinya tak perlu dengan marah, cukuplah mengajak mereka yang "nyinyir" itu menjadi relawan agar merasakan betapa berat tugas yang harus dihadapi.
Pahlawan
Dalam perang selalu ada yang menjadi musuh. Virus corona adalah musuh bersama yang sedang dihadapi manusia di dunia ini, tak terkecuali di Indonesia.
Sebagai renungan, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan B Najamudin pada 9 April 2020 mengemukakan, jika semua sepakat bahwa ini adalah situasi perang dan corona adalah musuh bersama, berarti semua juga sepakat bahwa para tenaga medis, perawat dan dokter adalah "para pejuang" dan "pahlawan".
Jika dianggap sebagai perang, lembaga yang diketuai oleh LaNyalla Mahmud Matalitti ini berpendapat alangkah baiknya menempatkan para medis yang gugur dalam menjalankan tugas mulia ini dihormati sebagai "pahlawan kesehatan".
Baca juga: Perilaku pasien COVID-19 tak jujur dan kematian dokter di Surabaya
Baca juga: Nama-nama 19 dokter yang gugur melawan corona
Baca juga: Sebelum meninggal, dokter Naek L. Tobing juga kena kanker lambung
Jika situasi sudah kembali normal, tak berlebihan kiranya dibangun monumen atau memorial untuk mengingatkan betapa gigihnya para "pahlawan kesehatan" menghadapi tugas berat dalam perang ini. Betapa keselamatan masyarakat lebih mereka utamakan dibandingkan dengan keselamatan dirinya.
Monumen atau memorial ini juga kelak untuk mengingatkan kepada semua pihak, bagaimana cara bersikap terhadap suatu wabah.
Dan betapa solidaritas, soliditas, gotong-royong, persatuan dan kesatuan perlu terus dipupuk sebagai bekal abadi bagi bangsa yang besar.
Pewarta: Sri Muryono
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2020