Dia juga meminta pemerintah mengevaluasi kesiapan pelaksanaan protokol kesehatan secara umum sebelum mengambil kebijakan normal baru.
"Dasar kajian secara ilmiah sangat dibutuhkan sebagai acuan pelonggaran kebijakan PSBB. Selain itu, kesiapan pelaksanaan protokol kesehatan secara luas harus dipastikan sebelum penerapan kenormalan baru di sejumlah wilayah," kata Lestari Moerdijat atau Rerie dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Presiden jelaskan kehidupan normal baru di tengah pandemi
Hal itu dikatakan Rerie terkait Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
Surat Menteri Kesehatan bertanggal 20 Mei 2020 tersebut memberikan panduan bekerja di kantor dan industri untuk mencegah penularan COVID-19 pada situasi kenormalan baru di masa pandemi.
Rerie menilai saat ini yang diperlukan dalam upaya pengendalian COVID-19 di Tanah Air bukan sekadar jumlah aturan yang dibuat, namun yang lebih penting adalah bagaimana aturan itu dapat diterapkan dan efektif.
Baca juga: Yurianto: Normal baru adalah produktif tapi jalani protokol kesehatan
"Tanpa dasar kajian ilmiah yang memadai, pelonggaran PSBB berpotensi menimbulkan ledakan penularan baru yang berimplikasi pada biaya ekonomi lebih besar lagi," ujarnya.
Untuk itu, Rerie meminta pemerintah agar berhati-hati dan memperhitungkan semua faktor dalam mengambil kebijakan.
Dia mencontohkan, dalam menghadapi pandemi COVID-19, sejumlah negara menjadikan R sebagai salah satu pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan kepublikan untuk menetapkan "lockdown" maupun kemudian untuk melonggarkannya, bahkan mencabutnya.
R adalah huruf yang melambangkan angka reproduksi, kemampuan suatu penyakit menyebar.
Baca juga: Anggota Komisi IX DPR ingatkan evaluasi penerapan pedoman normal baru
Dia mengatakan, pedoman kerja yang digunakan adalah mereka berupaya keras agar angka reproduksi itu berhasil ditekan sampai konsisten di bawah 1.
"Bagaimana dengan R di Indonesia? Saya kira perlu memastikan, sebelum pelonggaran kebijakan diterapkan, angka penyebaran infeksi konsisten di bawah 1 (R<1)," katanya.
Selain itu, menurut Rerie, kesiapan pelaksanaan protokol kesehatan secara luas yang mensyaratkan kelengkapan sarana dan prasarana pendukung di area publik juga perlu segera direalisasikan.
Dia mencontohkan di sejumlah pasar tradisional dan area publik di wilayah DKI Jakarta belum terlihat tempat cuci tangan yang memadai dan pembatasan jarak antar-individu sehingga seringkali terlihat kerumunan orang, bahkan tanpa masker di sejumlah pasar.
Baca juga: Pengamat: Pemerintah harus samakan pesan perihal tatanan normal baru
"Oleh karena itu yang terpenting dari semua aturan adalah memastikan bagaimana kedisiplinan masyarakat dapat ditingkatkan dalam mematuhinya," katanya.
Rerie mengatakan menjelang Lebaran beberapa waktu lalu, terjadi peningkatan aktivitas masyarakat di luar rumah tanpa mematuhi protokol kesehatan di sejumlah tempat.
Menurut dia, berbanding lurus dengan itu, jumlah kasus terkonfirmasi positif harian di Indonesia mencapai rekor tertingginya pada 21 Mei 2020 atau empat hari menjelang Idul Fitri yaitu 973 kasus.
"Naik signifikan dibanding sehari sebelumnya 693 kasus. Untuk itu perlu kesadaran bersama bahwa pemutusan rantai penularan virus corona memang membutuhkan konsistensi dan disiplin yang tinggi karena abai sebentar saja, berpotensi muncul ledakan penularan baru," ujarnya.
Baca juga: Anggota DPR: Normal baru harus dibarengi protokol kesehatan ketat
Menurut dia, belajar dari kondisi tersebut, menjadi pekerjaan rumah bersama bagaimana agar masyarakat konsisten dan disiplin dalam memutus mata rantai penyebaran COVID-19.
Selain itu, Rerie menyampaikan apresiasi kepada masyarakat yang hingga hari ini konsisten mematuhi anjuran untuk bekerja, belajar, bahkan beribadah di rumah.
"Masyarakat perlu disiplin, kerja sama, dan konsistenuntuk menuju kenormalan baru," katanya.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020