Dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, Sabtu, pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran memberi perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan over the top (OTT).
Baca juga: Pakar hukum sebut UU ITE tak dapat diterapkan untuk konten penyiaran
Baca juga: Konten lembaga penyiaran dinilai tak bisa dijerat dengan UU ITE
Baca juga: UU ITE disebut bukan untuk mengatur konten penyiaran di Indonesia
Menurut INews dan RCTI, perlakuan berbeda itu lantaran tidak terdapat kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet masuk ke dalam definisi penyiaran seperti diatur Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran atau tidak.
Sementara sampai saat ini OTT tidak terikat dalam UU Penyiaran sehingga tidak harus memenuhi syarat berbadan hukum Indonesia serta memperoleh izin siaran seperti penyelenggara siaran konvensional.
Selain itu juga tidak wajib tunduk pedoman perilaku penyiaran dan standar program penyiaran dalam membuat konten siaran agar tidak dikenakan sanksi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Sebelumnya terdapat polemik Ketua KPI Agung Suprio yang akan turut mengawasi Youtube dan Netflix pun disebut membuktikan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran multitafsir.
Layanan OTT yang menyediakan, gambar, audio, video dan/atau gabungannya disebut pemohon masuk dalam kategori siaran apabila merujuk pada definisi siaran yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Penyiaran.
Untuk itu, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyertakan penyedia layanan siaran melalui internet turut diatur dalam Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran.
"Perkembangan internet yang begitu pesat telah melahirkan berbagai macam platform digital," ujar pemohon.
Baca juga: Kominfo: UU Penyiaran selesai 2020
Baca juga: Serial Netflix Original yang akan hadir di bulan Juni
Baca juga: Fitur "Chapter" Youtube meluncur di desktop dan mobile
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2020