Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran perlu mengatur penyiaran secara komprehensif, termasuk penyiaran digital, kata anggota Komisi I DPR RI Sukamta.Ini bahaya untuk masa depan dunia penyiaran. UU Penyiaran yang ada belum mencakup hal ini, solusinya ya percepat Revisi UU Penyiaran, bukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Melalui keterangan tertulis, di terima di Jakarta, Sabtu, Sukamta mengaku khawatir siaran melalui internet akan semakin menjamur tanpa dijamah aturan penyiaran.
"Ini bahaya untuk masa depan dunia penyiaran. UU Penyiaran yang ada belum mencakup hal ini, solusinya ya percepat Revisi UU Penyiaran, bukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi," ujar Sukamta terkait gugatan RCTI dan INews TV terhadap UU Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: UU Penyiaran digugat RCTI ke MK sebab tak atur Netflix dan Youtube
Anggota Panja RUU Penyiaran itu berpendapat pengaturan penyiaran digital tidak bisa dilakukan secara parsial hanya dengan mengubah satu atau beberapa pasal melalui Mahkamah Konstitusi.
Menurut dia, Komisi I periode 2014-2019 lalu sudah mempercepat dan menyelesaikan pembahasan rancangan revisi UU Penyiaran selama dua tahun dengan mengutamakan pengaturan penyiaran digital melalui internet.
Namun, revisi UU Penyiaran waktu itu macet saat pembahasan di Baleg, kata Sukamta, karena stasiun televisi swasta ingin mempertahankan model penyiaran menggunakan multimux, sementara Komisi I sudah bulat untuk memilih singlemux.
Baca juga: KPID se-Indonesia sepakat lembaga penyiaran harus dilindungi
"Apa pun hasil putusan Mahkamah Konstitusi nanti, yang penting saya berharap dunia penyiaran ini betul-betul dapat mewujudkan tujuan penyiaran membangun bangsa Indonesia yang beradab," ujar Wakil Ketua Fraksi PKS itu.
Ada pun UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran diminta INews TV dan RCTI untuk diuji di Mahkamah Konstitusi lantaran tidak mengatur penyedia layanan siaran melalui internet seperti, Youtube dan Netflix.
Menurut INews TV dan RCTI, Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran memberi perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan over the top (OTT).
Baca juga: Pakar hukum sebut UU ITE tak dapat diterapkan untuk konten penyiaran
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2020