"Memang di pengadilan Indonesia tidak ada standar berapa besar kerugian untuk peristiwa yang sama, beda pengadilan, beda hakim bisa beda jumlah kerugian," kata dia saat diskusi virtual Bincang Hukum #2 Wildlife in Indonesia loss, damage and sanctions yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Warga Belanda divonis dua tahun kasus perdagangan satwa dilindungi
Ia menjelaskan hal itu disebabkan valuasi kerugian seharusnya dilihat dari kerugian yang nyata. Namun, secara umum prinsipnya sudah ada di Kitab Undang-Undang (KUH) perdata.
"Di KUH perdata 1246 dikatakan bahwa kerugian yang nyata dan langsung sebagai akibat perbuatan dan kehilangan keuntungan yang diharapkan," ujar dia.
Hal tersebut disampaikannya karena masih banyak kasus kejahatan lingkungan misalnya perdagangan kulit harimau dimana tuntutan tidak sesuai dengan apa yang diakibatkan pelaku sehingga merugikan lingkungan dan negara.
Sebagai contoh, katanya, apabila ada kasus kejahatan penjualan tenggiling maka banyak aspek yang mesti dihitung mulai dari pemeliharaan, makanan dan sebagainya oleh pihak pengadilan sebelum memutuskan perkara.
Baca juga: Pengadilan Bogor vonis penjual Kukang `online`
Oleh karena itu, hakim sebagai pihak yang akan memutuskan suatu perkara harus bisa menghitung hal-hal tersebut dengan melibatkan para ahli sehingga mengetahui berapa nilai dari satwa dilindungi itu, ujar dia.
"Memang di Indonesia belum ada standar atau pedoman mengenai hitungan yang tepat terkait kerugian-kerugian tersebut," ujarnya.
Terkait apabila ada kasus yang sudah diputuskan pidana bersalah apakah bisa dimintakan ganti rugi, Rosa mengatakan hal itu bisa dilakukan karena ada pembuktian dari kesalahan pelaku kejahatan lingkungan tersebut.
Baca juga: Polisi Kapuas tangkap pelaku pembunuhan satwa dilindungi
Baca juga: Polda Banten ungkap penjualan daring satwa dilindungi
Baca juga: Balai Gakkum LHK Kaltim amankan 167 ekor burung dilindungi
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020