Sastrawan, wartawan dan tokoh pergerakan ini adalah orang yang pertama kali dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Presiden Soekarno pada 30 Agustus 1959.
Putra Minangkabau ini menghembuskan napas terakhir di Bandung pada 17 Juni 1959, jauh dari tempat kelahirannya di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Kiprahnya sebagai tokoh pergerakan membuat pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan larangan keluar dari pulau Jawa.
Dikutip dari buku "Pahlawan-Pahlawan Indonesia Sepanjang Masa" dari Didi Junaedi, Abdoel Moeis diasingkan oleh pemerintah Belanda ke Garut, Jawa Barat.
Baca juga: Hari lahir Abdoel Moeis jadi Hari Sastra Indonsia
Baca juga: Puisi esai; tonggak baru sastra Indonesia
Kota itu sekaligus jadi tempat Abdoel Moeis menyelesaikan novel "Salah Asuhan, salah satu karyanya yang ternama.
"Salah Asuhan" terbit dalam bahasa Melayu pada 1928 di bawah penerbit Balai Pustaka. "Salah Asuhan" juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul "Never the Twain" oleh Yayasan Lontar pada 2010.
"Pemahaman Salah Asuhan" keluaran Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1985 mendeskripsikan "Salah Asuhan" sebagai novel yang membahas pembauran serta benturan antara kebudayaan Timur dan Barat.
"Salah Asuhan" bercerita tentang Hanafi, pemuda Minangkabau yang berada di tengah pendidikan dan lingkungan yang menganut nilai-nilai dan sikap hidup orientasi Barat.
Pendidikan Barat yang salah membuat dia tak bisa membaur dengan bangsanya, tapi tidak pula diterima oleh kaum Barat.
Hanafi dianggap salah asuhan karena kebarat-baratan.
Hanafi dinikahkan dengan Rapiah, namun bercerai karena memilih untuk menjalin kasih dengan Corrie du Busse, seorang gadis Indo-Prancis.
Kehidupan rumah tangga Hanafi dan Corrie tidak harmonis dan Hanafi hidup dalam penyesalan.
Baca juga: "Lelaki Harimau" dalam bahasa Perancis diluncurkan
Baca juga: Anak-anak diajak nikmati sastra di Hari Bersastra Yogya
Versi yang diterbitkan berbeda dari naskah aslinya. Novelnya bisa terbit setelah ditulis ulang dengan karakter Eropa yang memberi kesan positif.
Dalam "Di Balik Tirai Salah Asuhan" dari Syafi Radjo Batuah, karakter Corrie dalam novel yang diterbitkan dan dalam naskah aslinya sangat berbeda.
Pada naskah asli, Corrie adalah gadis pesolek yang menyukai pergaulan bebas. Lewat bujukan Tante Lien, mak comblang, ia bergaul intim dengan pemain orkes keroncong, menjual diri kepada seorang Arab kaya raya, hingga kapten kapal. Ini jadi salah satu penyebabnya bercerai dengan Hanafi.
Corrie terjerumus ke dalam dunia pelacur dan mati ditembak seorang langganannya.
Naskah ini ditolak, karakter Corrie ditulis ulang sebagai perempuan yang tidak tergoda bujukan Tante Lien, meski dia tetap dituduh selingkuh oleh Hanafi. Corrie digambarkan sebagai korban fitnah, dia kemudian meninggal akibat kolera.
"Salah Asuhan" kemudian diadaptasi menjadi film oleh sutradara Asrul Sani dengan bintang Dicky Zulkarnaen sebagai Hanafi, Rima Melati sebagai Rapiah dan Ruth Pelupessy --pemeran Darminah dalam film horor "Pengabdi Setan"- sebagai Corrie du Bussee.
Film yang dirilis pada 1972 ini diubah latar belakangnya menjadi 1970-an.
"Salah Asuhan" juga hadir di layar kaca dalam sinetron berjudul sama arahan Azhar Kinoy Lubis. Sinetron "Salah Asuhan" yang dibintangi oleh Dimas Aditya ini tayang pada akhir 2017.
Baca juga: Bentara Budaya Bali tayangkan empat film adaptasi karya sastra
Baca juga: Jeda 8 tahun, "Nagabumi III" dari Seno Gumira Ajidarma resmi meluncur
Baca juga: Sastra Indonesia di LBF 2019
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2020