• Beranda
  • Berita
  • Buku aktivis demokrasi tak lagi tersedia di perpustakaan Hong Kong

Buku aktivis demokrasi tak lagi tersedia di perpustakaan Hong Kong

5 Juli 2020 19:08 WIB
Buku aktivis demokrasi tak lagi tersedia di perpustakaan Hong Kong
Aktivis pro demokrasi memegang poster bertuliskan "Lawan Undang-Undang Keamanan Nasional, kita turun ke jalan 1 Juli" saat berunjuk rasa usai Parlemen China meloloskan Undang-Undang Keamanan Nasional untuk Hong Kong di Hong Kong, China, Selasa (30/6/2020). ANTARA FOTO/REUTERS/Tyrone Siu/wsj.

Undang-undang keamanan nasional... mendatangkan rezim sensor gaya China daratan di kota yang jadi pusat keuangan dunia ini

Buku-buku yang dikarang oleh aktivis demokrasi terkenal di Hong Kong tidak lagi tersedia di perpustakaan milik pemerintah beberapa hari setelah parlemen China mengesahkan Undang-Undang Keamanan Baru di kota semi-otonom tersebut, kata beberapa warga  dunia maya dan seorang aktivis.

Undang-undang baru itu yang berlaku sejak Selasa (30/6), bersamaan dengan pengumuman isi beleid itu, menyasar warga yang dicurigai melakukan makar, subversi, terorisme, dan kerja sama dengan pasukan bersenjata asing dengan ancaman penjara seumur hidup.

Hasil pencarian laman perpustakaan publik di Hong Kong menunjukkan beberapa buku yang dikarang oleh aktivis pro demokrasi seperti Joshua Wong dan Tanya Chan tidak lagi tersedia atau masuk dalam peninjauan pustakawan. Salah satu buku yang dikarang Wong, Unfree Speech, tidak lagi tersedia di perpustakaan publik.

"Undang-undang keamanan nasional... mendatangkan rezim sensor gaya China daratan di kota yang jadi pusat keuangan dunia ini," kata Wong lewat unggahannya di media sosial Twitter, Sabtu (4/7). Ia menambahkan statusnya saat ini "rentan kena sensor dalam buku".

Baca juga: Pemerintah nyatakan slogan "bebaskan Hong Kong" ilegal
Baca juga: Inggris sebut UU keamanan nasional langgar Deklarasi Hong Kong


UU keamanan nasional banyak dikritik oleh aktivis pro demokrasi, pengacara, dan pemerintah asing yang khawatir beleid itu akan digunakan oleh penguasa untuk menekan oposisi, serta mengekang kebebasan yang telah dijanjikan oleh Inggris saat menyerahkan Hong Kong ke China pada 1997.

Satu hari setelah UU itu berlaku, seorang warga ditangkap aparat karena membawa bendera Hong Kong merdeka.

Pemerintah setempat pada Jumat (3/7) menyampaikan slogan "Bebaskan Hong Kong, ini waktunya revolusi," ilegal atau melanggar hukum. Tidak hanya itu, seorang pria yang mengendarai motor ke arah polisi saat aksi unjuk rasa juga ditangkap dan dituntut pidana terorisme dan penghasutan. Pria itu ditangkap karena membawa bendera dengan pesan "Bebaskan Hong Kong".

Departemen Layanan Pariwisata dan Kebudayaan Hong Kong, yang mengelola perpustakaan, mengatakan buku-buku pro demokrasi telah dicopot dari rak dan statusnya pun masih dipelajari oleh otoritas terkait apakah buku-buku itu melanggar hukum. Pernyataan itu ia sampaikan ke media-media setempat.

Beberapa pejabat pemerintah di Hong Kong dan China berulang kali mengatakan UU itu tidak akan mengekang kebebasan berpendapat, media, atau hak lainnya. UU baru itu, kata mereka, hanya menargetkan "para perusuh".

Sejauh ini belum jelas berapa banyak buku yang masuk daftar evaluasi pemerintah. Namun, dua buku yang dikarang oleh oposisi pemerintah, Liu Xiaobo, masih tersedia, demikian hasil pencarian di laman perpustakaan.

Liu Xiaobo merupakan tokoh politik yang mendapatkan anugerah Nobel Perdamaian.

Sumber: Reuters

Baca juga: PBB prihatin terkait penahanan berdasarkan UU keamanan Hong Kong
Baca juga: Warga Hong Kong dituntut atas terorisme, hasutan separatisme

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020