Bulir-bulir padi di antara gedung bertingkat

9 Agustus 2020 11:31 WIB
Bulir-bulir padi di antara gedung bertingkat
Petani menanam bibit padi di areal persawahan kawasan Ujung Menteng, Kanal Banjir Timur, Cakung, Jakarta, Kamis (7/11/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.

terus menanam padi untuk membantu menjaga stok pangan masyarakat

Potensi persoalan stok pangan masa depan sedang dihadapi berbagai negara dan penyelesaian masalah itu mulai diantisipasi di masa pandemi virus corona ini.

Organisasi Pangan Dunia (FAO) beberapa waktu lalu telah menyampaikan peringatan kepada negara-negara di berbagai benua mengenai potensi ancaman krisis pangan. Potensi itu akibat terganggunya suplai dan produksi.

Karena itu, meskipun berbagai negara masih melakukan pembatasan akses dengan negara lain guna menekan penyebaran virus corona (COVID-19), tetapi akses pengiriman bahan pangan masih dibuka. Bahan pangan termasuk dalam pengecualian.

Di Indonesia, potensi persoalan pangan juga telah menjadi perhatian serius pemerintah. Antisipasinya adalah menjaga lumbung-lumbung produksi.

Selain itu, membuat lumbung-lumbung pangan baru dengan mencetak sawah, seperti sedang dilakukan pemerintah melalui Kementerian BUMN, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Pertahanan di Kalimantan.

Begitu juga pembangunan bendungan atau waduk untuk irigasi pertanian dilakukan di beberapa daerah. Inti dari tujuannya adalah agar persoalan kebutuhan pangan di masa mendatang dapat diantisipasi.

Baca juga: Warga Jakarta tanam sayuran di bantaran Sungai Ciliwung

Namun, mempertahankan lumbung padi yang sudah ada (intensifikasi) maupun mencetak sawah baru (ekstensifikasi) tidaklah mudah. Kini keduanya menghadapi masalah serius.

Intensifikasi sedang menghadapi fenomena alih fungsi lahan. Sedangkan ekstensifikasi membutuhkan waktu, biaya dan tenaga.

Tak Terkendali
Meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan, tetapi implementasinya di lapangan masih harus menjadi perhatian serius.

Alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan terus terjadi secara masif di hampir semua daerah.
Petani kota Abdulrahman (58) melakukan perawatan tanamannya di kebun di atas rumahnya, di kawasan Cipete, Jakarta, Kamis (14/11/2019). Konsep pertaniaan perkotaan atau "urban farming" menjadi solusi masyarakat Jakarta untuk bercocok tanam atau berkebun di tengah-tengah tingginya harga lahan di Ibu Kota. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/ama.

Alih fungsi lahan yang potensial untuk pertanian dan perkebunan seperti tak terkendali. Fenomena itu terjadi seiring dengan pertambahan dan pertumbuhan penduduk yang membutuhkan tempat tinggal atau untuk kepentingan usaha/bisnis dan industri.

Faktor lainnya yang mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan adalah perkembangan wilayah. Tersedianya jalan yang memadai juga memacu suatu wilayah terus berkembang.

Persoalan hama dan tingginya biaya untuk mengolah lahan serta anjloknya harga saat panen ikut mempengaruhi terjadinya peralihan hak dan kepemilikan lahan.Tak sedikit lahan kemudian dialihkan untuk kepentingan lain atau dialihkan kepemilikan yang kemudian fungsinya pun berubah.

Yang terjadi kemudian adalah banyaknya lahan pertanian yang telah berubah fungsi. Kini tak sulit melihat atau menemukan hamparan ladang dan kebun yang bersanding dengan perumahan, pabrik/industri atau rumah toko (ruko).

Dalam kurun waktu 20-30 tahun lalu, rute Jakarta-Merak adalah lumbung padi yang ditandai dengan hamparan sawah. Kini makin sedikit dan makin sulit menemukan atau melihatnya lagi.

Baca juga: Di saat pandemi, kelompok tani di Jakarta ternyata mampu tanam padi

Di masa lalu, sepanjang Jakarta-Karawang-Cirebon adalah lumbung padi yang dibangun Sultan Agung sebagai modal untuk menaklukkan Batavia. Kini kelanjutan masa depan lumbung padi itu bisa dicermati oleh siapapun.

Itu menunjukkan bahwa perkembangan wilayah menimbulkan kerawanan bagi nasib dan masa depan lahan pertanian dan kebun. Ketika suatu daerah mulai berkembang, di situlah terjadi alih fungsi lahan pertanian dan perkebunan.
Petani menanam bibit padi di areal persawahan kawasan Ujung Menteng, Kanal Banjir Timur, Jakarta, Kamis (7/11/2019) ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj. 
Berkurang
Lihat saja sejumlah petani memanen padi di hamparan sawah di samping gedung sekolah dan perkantoran di Paron, Ngawi, Jawa Timur, Senin (3/8/).

Dinas Pertanian setempat mencatat luas lahan pertanian di kawasan lumbung padi tersebut telah berkurang dari 50.550 hektare (ha) menjadi 50.197 hektare. Luas lahan pertanian berkurang akibat beralih fungsi menjadi perumahan, industri dan infrastruktur.

Berkurangnya luas lahan pertanian tentu berdampak pada menurunnya produksi gabah dan dikhawatirkan mengganggu tingkat ketahanan pangan. Padahal dengan pertumbuhan penduduk, tiap tahun kebutuhan bahan pangan juga meningkat.

Lalu dimana persoalannya dengan tumbuhnya industri non pertanian? Tentu tidak ada persoalan, justru harus dipacu terlebih saat pandemi COVID-19 ini agar ekonomi segera pulih.

Yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana mempertahankan lahan pertanian sebagai lumbung pangan di tengah upaya memacu sektor industri lainnya. Tata ruang wilayah yang melindungi lumbung pangan adalah implementasi dari UU Nomor 41/2009.

Harapannya persoalan ini tidak sekedar retorika di tengah terus terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Karena itu, komitmen berbagai pihak perlu terus diwujudkan dengan langkah yang konsisten.

Baca juga: DKI Jakarta panen bawang merah 15 ton

Tanpa hal itu, dikhawatirkan lumbung-lumbung pangan akan semakin tergerus perkembangan wilayah yang pada akhirnya pemenuhan stok pangan akan menjadi persoalan sangat serius di masa mendatang.

Bertahan
Meski lahan pertanian di berbagai daerah terancam menyusut karena perkembangan wilayah tak sedikit pihak yang terus berusaha mempertahan lahan di tengah kemajuan daerah. Bahkan hal itu dilakukan di tengah masa sulit seperti ini.

Di tengah pandemi COVID-19 serta Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejumlah petani di wilayah DKI Jakarta ternyata terus bertani. Bahkan mereka mampu melakukan penanaman padi di areal persawahan yang masih tersisa di antara gedung-gedung bertingkat.

Para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani (Poktan) Kandang Besar tetap melakukan usaha tani, baik budi daya padi maupun hortikultura di Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur. Petani yang menggarap lahan itu sebagian merupakan warga dari daerah Pantura Jawa Barat.

Menurut Ketua Poktan Kandang Besar Wahono, semangat dan kegigihan mereka tetap menanam padi di tengah kondisi pandemi karena keinginan untuk membantu pemerintah menjaga stok.

"Usaha yang dapat kami lakukan adalah dengan terus menanam padi untuk membantu menjaga stok pangan masyarakat," katanya.

PSBB yang diterapkan oleh Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengharuskan sebagian besar warga beraktivitas dari rumah. Namun pengecualian bagi mereka yang bergerak di sektor pertanian yang mengharuskan tetap beraktivitas di lahan-lahan untuk melakukan budidaya tanaman demi menjaga ketersediaan stok pangan masyarakat.

Selain untuk memenuhi stok pangan masyarakat, kegiatan petani yang tetap berlangsung ini juga disebabkan karena kebutuhan keluarga mereka. Poktan Kandang Besar ini memiliki lahan garapan sawah sekitar delapan hektare yang berada di tengah perumahan padat penduduk.

Baca juga: Milenial kuasai sayur Pasar Induk Kramat Jati Jakarta

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jakarta, salah satu kepanjangan tangan Kementerian Pertanian (Kementan) yang ada di tiap provinsi melakukan pendampingan bagi kelompok tani ini.

Kepala BPTP Jakarta Arifin Rivaie mengatakan pada musim tanam kali ini pihaknya mengenalkan varietas Inpari 32 dan Inpari Nutrizinc kepada Poktan Kandang Besar.

Inpari 32 merupakan varietas turunan dari Ciherang dan memiliki keunggulan, yakni potensi hasil mencapai 8,42 ton per hektare gabah kering giling (GKG). Varietas ini memiliki ketahanan terhadap penyakit daun bakteri, tahan penyakit blas dan agak tahan tungro.

Sedangkan Inpari Nutrizinc merupakan padi dengan kandungan zinc yang cukup tinggi, yakni sebesar 34,51 ppm. Untuk varietas lain seperti Ciherang hanya berkisar 24.06 ppm.

Pada 26 April 2020 lalu telah dilakukan kegiatan pindah tanam bibit padi varietas Inpari 32. Kemudian pada 3 Mei 2020 juga dilaksanakan pindah tanam padi varietas Inpari Nutrizinc.

Pada tiga bulan setelah tanam, bibit-bibit padi tersebut dapat memproduksi hasil panen sesuai dengan potensinya. Yaitu Inpari 32 sekitar 8,42 ton dan Inpari Nutrizinc mencapai 9,98 ton per ha.
Petani menanam padi di lahan persawahan di kawasan Cakung, Jakarta Timur, Kamis (7/5/2020). (ANTARA/Balai Pengkajian Teknologi Pertanian/BPTP Jakarta)

Pada 15 Juli 2020, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria (Ariza) melakukan panen di lahan itu. Ariza menyatakan komitmen Pemprov DKI Jakarta mempertahankan lahan sawah tersebut.

Wilayah Jakarta saat ini memiliki lahan sawah yang semakin sedikit. Pada 2015, lahan sawah yang tersisa di Jakarta masih 653 ha.

Data terbaru dari Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Perikanan (KPKP) Provinsi DKI Jakarta menyebutkan di Jakarta masih ada 414 ha lahan sawah. Artinya terjadi penyusutan luas akibat alih fungsi.

Lumbung padi seluas 414 yang masih tersisa itu ada di Kecamatan Kalideres dan Kembangan (Jakarta Barat) 45 ha serta di Kecamatan Cilincing (Jakarta Utara) 341 ha. Selain itu di Kecamatan Cakung (Jakarta Timur) seluas 28 ha.

Dari 28 ha sawah di Cakung, delapan ha di antaranya merupakan aset Pemprov DKI yang pengelolaannya diserahkan kepada UPT Pusat Pengembangan Benih dan Proteksi Tanaman pada Dinas KPKP DKI. Sebagai aset langka, maka lahan itu menjadi "sawah abadi" yang tidak boleh beralih fungsi.

Lahan itu dikelola oleh warga yang tergabung dalam 15 kelompok tani. Dengan konsistensi petani menanam maka usaha tani padi di Jakarta terus ada dan berjalan meski ada wabah dan PSBB.

Bertani dan menanam padi di provinsi lain yang sawahnya masih luas adalah hal biasa. Namun menjadi luar biasa jika dilakukan di Kota Metropolitan Jakarta.

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2020