Dalam konferensi pers daring di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu, ia menjelaskan yang terjadi adalah pemerintah daerah diberi batas waktu dalam memproses perizinan di daerah.
"Tidak dihilangkan (kewenangan daerah). Diberi waktu perizinan tetap ada di daerah yang sesuai dengan kewenangannya, tetapi diberi batas, perlu diberi batas waktu. Kalau tidak jalan ya memang harus ditarik di pusat tentu dengan norma standar prosedur dan kriteria (NSPK)," ujar Yasonna Laoly.
Ia menuturkan ketentuan tersebut tidak melanggar konstitusi yang menyatakan presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan dan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah merupakan desentralisasi dari pemerintah pusat oleh presiden.
Namun, agar perizinan di daerah berjalan lebih cepat, ia menyebut presiden mempunyai diskresi pemerintahan untuk menarik permohonan izin demi kepentingan jalannya pemerintahan.
"Itu jelas konstitusional, tetapi tetap kami akui bahwa pemerintah daerah punya kewenangan, punya hak untuk menerbitkan izin," kata Yasonna Laoly.
Baca juga: Mendagri: Omnibus Law UU Cipta Kerja permudah izin usaha di daerah
Baca juga: Menkop nilai UU Cipta Kerja percepat pengembangan UMKM
Ada pun sejumlah akademisi, di antaranya Guru Besar Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti menyebut UU Cipta Kerja melanggar nilai konstitusi, yakni dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 yang mengatur pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya.
Namun, UU Cipta Kerja yang baru disahkan itu menarik kewenangan pemerintah daerah kembali ke pusat sehingga peran pemda dikerdilkan dan menyebabkan Jakarta terlalu kuat.
Baca juga: UU Cipta Kerja buat pekerja lebih produktif tapi kesejahteraan rendah
Baca juga: Sri Mulyani paparkan syarat PPh dividen dibebaskan dalam UU Ciptaker
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020