Cuaca cerah mengiringi langkah sejumlah orang menuju bantaran Banjir Kanal Timur (BKT) di Jakarta Timur, Sabtu pagi.Cukup lumayan. Setidaknya untuk kebutuhan sendiri sudah terpenuhi
Dengan membawa peralatan seperti cangkul dan sabit, mereka kemudian menuruni tembok bantaran kali. Seutas tali dan tangga seadanya menjadi penolong untuk turun agar sampai lahan di bantaran.
Ketika siang, mereka pun naik dengan peralatan sederhana itu. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan sudah bertahun-tahun mereka jalani rutinitas itu.
Tak ada keluhan. Tak ada pula keluh-kesah karena keadaan seperti itu harus dijalani.
Siapa mereka? Untuk apa pula ke bantaran kali?
Merekalah para petani yang menanam beragam tanaman pangan di bantaran kali itu. Dari rutinitas itu, beragam kebutuhan pangan mereka hasilkan.
Mulai dari singkong, pisang, hingga jagung. Begitu juga beragam sayuran, mulai dari kangkung, bayam, pepaya, kacang panjang, terong, daun katuk, hingga cabai.
Juga jahe, kencur, dan lengkuas. Bengkoang, tomat, labu parang, dan sereh ada pula di sana.
Dengan perawatan rutin, beragam jenis tanaman itu bisa tumbuh subur di bantaran BKT. Ketersediaan air sepanjang tahun, menjadikan bantaran kali menghasilkan aneka kebutuhan dapur sepanjang waktu.
Baca juga: Cinta bersemi pada kehijauan
Rindang
Kini, menelusuri BKT, bukan hanya menikmati udara sejuk dan rindangnya pohon-pohon yang tumbuh besar di pinggir jalan inspeksi, melainkan juga kehijauan tanaman di bantarannya. Itulah BKT yang sekarang.
Kerindangan dan kesejukannya menjadi daya tarik bagi sebagian warga Ibu Kota untuk menikmatinya. Tak jarang ada keluarga duduk-duduk di atas bantaran pada pagi atau sore di akhir pekan untuk melihat aliran kali dan aktivitas petani di bawahnya.
Selain upaya pemerintah menata BKT menjadi kawasan yang rapi, rindang, dan sejuk, ada juga peran warga yang bertani. Atas prakarsa mandiri dan inisiatif mereka, kini BKT memiliki bantaran yang menghasilkan beragam kebutuhan sehari-hari.
Peran warga ada pada pemanfaatan lahan di bantaran untuk bertani. Mereka yang kerap disebut petani perkotaan itu jumlahnya puluhan, bahkan mungkin ratusan orang.
Entah berapa jumlah pastinya. Mereka beraktivitas di sepanjang BKT yang memanjang dari Cipinang Cempedak di Jakarta Timur hingga Marunda di Jakarta Utara.
Salah satunya, Sulistyo Pambudi Utomo, warga kompleks Perumahan Duren Sawit Baru (Jakarta Timur). Pensiunan aparatur sipil negara pada Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 itu bertani di bantaran BKT sejak 3 tahun lalu.
Awalnya, dia dan sejumlah warga lainnya melihat bantaran BKT sebagai lahan kosong yang mubazir. Dia pun menghadap pimpinan Kelurahan Duren Sawit untuk menanyakan kemungkinan memanfaatkan lahan itu.
"Waktu itu pihak kelurahan melalui Seksi Ekonomi dan Pembangunan (Ekbang) tidak melarang tetapi juga tidak menyuruh," katanya saat ditemui di lokasi bertaninya di bantaran BKT pada hari Sabtu (7/11).
Baca juga: Cara Jakarta memenuhi kebutuhan sayuran
Wabah
Dia pun berkoordinasi dengan pihak terkait BKT, antara lain Dinas Sumber Daya Air (SDA) dan Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta. Niatnya untuk memanfaatkan lahan di bantaran BKT terwujud setelah ada "lampu hijau" dari instansi terkait.
Hanya saja, tanaman yang dibudidaya harus berumur pendek. Itu diterjemahkan dengan menanam beragam sayuran berumur 1-3 bulan.
Selain sayuran, tanaman yang pohonnya jenis perdu, seperti terong dan tomat boleh dibudi daya di sini. Yang penting bukan tanaman keras seperti pepohonan.
Selain beragam sayuran berumur pendek, kini tanaman yang berumur panjang--tetapi bukan jenis kayu--diperbolehkan oleh pihak terkait. "Pepaya ini tumbuh bagus, mudah-mudahan segera berbuah," kata petani yang biasa disapa Pak Top ini.
Tapi Pak Top dan petani lainnya tidak tahu pasti luas lahan bantaran yang digarap. Dia hanya tahu tanamannya sepanjang tujuh tiang listrik, dari jembatan satu ke jembatan lainnya.
Lahan di bantaran itu terbagi dua lapis: bagian atas dan bawah. Para penggarap berbagi luasan berdasarkan kesepakatan dan kondisi yang ada.
Kian hari rutinitasnya mendapat perhatian warga lainnya. Sejumlah warga pun mengikuti jejaknya mengolah lahan bantaran itu.
Di antara mereka ada yang ingin bertani untuk berkegiatan mengisi hari-harinya selama pandemi COVID-19. Kesibukan bertani diyakini menyehatkan badan karena kegiatan bidang lain banyak terdampak pandemi.
"Daripada termenung dan merenungi corona yang entah sampai kapan. Terasa sekali enak di badan," kata petani lainnya.
"Ini seperti olahraga tetapi menghasilkan kebutuhan buat sehari-hari di rumah," kata yang lain.
Baca juga: Petani Ibu Kota di lahan terbatas
Susah
Tak jarang juga di antara mereka adalah pengangguran karena tempat kerja terdampak pandemi. Pak Top sudah sepekan mempekerjakan dua korban PHK.
Pekerjaannya merawat beragam tanaman bersama Pak Top. Bayarannya dihitung berdasarkan jam.
Untuk 1 jam bekerja bayarannya Rp10 ribu. Sehari dihitung delapan jam kerja sehingga Rp80 ribu per orang.
Sebelum wabah ini, susah sekali cari pekerja untuk bertani. Sekarang mereka, mau tidak mau, karena harus ada pemasukan atau pendapatan harian.
"Kasihan juga, maka saya terima kerja," kata kakek dua cucu ini menceritakan alasan menerima pekerja.
Melihat hal itu, tampaknya kini bertani di perkotaan menjadi fenomena. Selain mereka yang sudah bertahun-tahun, juga ada yang baru saja menekuni dengan alasan beragam.
Dari kegemaran (hobi), mengisi waktu untuk kegiatan dan menghasilkan hingga bekerja untuk memperoleh pendapatan. Semua alasan itu ada di kalangan warga yang mengolah lahan di BKT.
Pak Top bukan saja sosok yang tetap produktif pada masa pandemi, tetapi juga tetap produktif di usia 70 tahun. Semangat dan kerja kerasnya masih tampak nyata dan tak kalah dengan yang lebih muda di bantaran BKT.
Kini minat mengolah lahan kosong bukan hanya di BKT, melainkan juga muncul dari sebagian warga yang tinggal di sepanjang tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu) ruas Kalimalang, khususnya Duren Sawit-Sumber Arta.
Di beberapa lokasi, di bawah kolong tol layang (elevated) di samping aliran Kalimalang itu juga terdapat beragam tanaman yang menghasilkan kebutuhan pangan.
Juga ada di beberapa lokasi di Banjir Kanal Barat (BKB). Beragam jenis tanaman pangan terutama sayuran dan palawija tumbuh subur seperti halnya di bantaran BKT.
Baca juga: Bulir-bulir padi di antara gedung bertingkat
Jaga Pangan
Dari alasan bertani di BKT, BKB, dan kolong Becakayu, satu idealisme dipegang teguh. Hasil bertaninya kadang melimpah dan lebih dari cukup untuk kebutuhan keluarga sendiri.
Maka, mereka pun berbagi kepada tetangga dan kerabat. Selain berbagi, beberapa petani juga mengaku menjual hasilnya ke warung sekitar rumahnya.
"Cukup lumayan. Setidaknya untuk kebutuhan sendiri sudah terpenuhi," kata salah satu petani.
Pak Top juga demikian.Akan tetapi, dia dan sejumlah petani lainnya menekuni pertanian perkotaan juga karena idealisme, yakni membantu ketersediaan pangan untuk warga Jakarta. Sebagai kota metropolitan, Jakarta tentu membutuhkan pasokan kebutuhan pangan, terutama sayuran tidak sedikit jumlahnya.
Saat ini peran petani perkotaan Jakarta terkait dengan kebutuhan pasokan bahan pangan mungkin dianggap kecil namun bermakna besar. Yakni keikutsertaan dalam menjaga pasokan pangan untuk warga ibu kota.
Sebagai orang yang bisa dibilang perintis pertanian perkotaan di BKT, Pak Top dan beberapa petani lainnya yakin apabila mereka dibina serius akan mampu menghasilkan bahan pangan lebih banyak lagi.
Ini mengingat belum seluruh bantaran BKT, BKB, dan kolong Becakayu diberdayakan untuk tanaman pangan. Apalagi, kalau lahan-lahan kosong di Jakarta digunakan untuk bercocok tanam aneka tanaman pangan.
Bahkan, diperkirakan apabila lahan bantaran BKT, BKB, kolong Becakayu, serta lahan-lahan kosong ditanami singkong semua, hasilnya bisa untuk memenuhi kebutuhan singkong ibu kota.
"Kalau semua singkong, untuk kebutuhan Jakarta diperkirakan bisa tercukupi. Akan tetapi, kalau semua sayuran, belum bisa, apalagi beras," katanya.
Pada saat pandemi global ini, pasokan pangan untuk masyarakat dunia sedang menjadi perhatian serius. Banyak sentra produksi pangan terdampak wabah, baik dari sisi produksi maupun distribusi akibat pembatasan aktivitas publik.
Walaupun hingga kini belum ada dampak serius berupa gangguan pangan, Badan Pangan Dunia (FAO) mengingatkan pentingnya negara-negara memperhatikan serius ketersediaan dan pasokan pangan. Oleh karena itu, banyak negara diperkirakan menahan produk pangan dan membatasi untuk mengekspor ke negara lain.
Baca juga: Menyadari dampak ekonomi imbas PSBB Pemerintah Indonesia pun sudah dan sedang mengantisipasi hal itu dengan sejumlah kebijakan. Salah satunya membuka kawasan atau sentra pangan (food estate).
Presiden Joko Widodo juga sudah mengingatkan kepala daerah agar memberi perhatian serius persoalan stok pangan di daerahnya.
Presiden saat membuka secara virtual Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi 2020 yang dilansir dari Jakarta, beberapa waktu lalu, mengatakan untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan tersebut, para kepala daerah harus menjaga ketersediaan pangan di wilayah masing-masing.
Para kepala daerah diminta benar-benar mencermati data pasokan dan permintaan bahan pangan setiap harinya untuk merumuskan kebijakan yang tepat.
Prakarsa mandiri dan inisiatif warga mencukupi pangan tampaknya perlu terus didorong dengan pembinaan yang baik dan terpadu.
Maka, jangan melupakan prakarsa dan inisiatif para petani perkotaan di BKT, BKB, dan kolong Becakayu dalam andilnya menjaga ketersediaan pangan untuk warga Jakarta.
Baca juga: Warga Jakarta tanam sayuran di bantaran Sungai Ciliwung
Pewarta: Sri Muryono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020