"Migrasi TV analog ke digital ini sesungguhnya adalah opportunity bagi TV lokal, artinya mereka sudah enggak lagi ditakdirkan untuk kecil, dan nantinya dapat bersaing," ujar praktisi media Imam Wahyudi kepada Antara, Sabtu.
Kembali pada waktu sebelum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disahkan, Imam, yang merupakan anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), menjelaskan kanal pada sistem tv analog memungkinkan stasiun tv untuk bersiaran secara nasional.
Baca juga: Kominfo manfaatkan frekuensi migrasi tv digital untuk 5G mulai Q3 2021
Baca juga: Migrasi tv analog ke digital genjot industri dalam negeri
Namun, UU No.32 Tahun 2002 kemudian mewajibkan stasiun TV tidak boleh bersiaran secara nasional. Sebagai gantinya, mereka dapat bersiaran secara berjaringan, bekerjasama dengan TV lokal.
Setiap daerah memiliki pita frekuensi sendiri-sendiri, sehingga televisi nasional untuk dapat bersiaran di daerah harus menggandeng televisi lokal, yang kemudian, menurut Imam, dijadikan badan hukum.
"Ada televisi lokal yang kanalnya itu tadinya transmisinya televisi nasional, kemudian di situ dibikin badan hukumnya televisi lokal yang berjaringan dengan nasional, jadi misalnya ada RCTI Bandung, padahal tadinya tidak ada RCTI Bandung itu," ujar Imam, yang merupakan Anggota Dewan Pers periode 2016-2019.
Sementara itu, di wilayah Bandung sendiri telah terdapat televisi lokal, PJTV, misalnya. Dalam konteks bisnis, mereka yang masuk dalam jaringan televisi nasional tentu lebih beruntung dari TV lokal lainnya. Bahkan, beberapa TV nasional juga kemudian ada yang mengakuisisi televisi lokal yang masuk dalam jaringannya tersebut.
Selanjutnya, nasib TV lokal yang tidak berjaringan dengan nasional tentu akan kalah bersaing. Sebab, pengiklan akan lebih memilih TV berjaringan nasional yang memiliki distrisbusi siaran lebih luas. Hal ini kemudian berdampak pada program TV lokal tersebut, yang juga berpotensi mengganggu produksi konten.
Bicara soal digital, saat analog beralih ke digital, Imam menjelaskan akan ada fungsi terpisah menjadi dua -- ada yang berperan sebagai pemasok konten atau content provider dan ada pula yang berperan sebagai broadcaster, yang mentransmisikan siaran televisi.
Sementara pada analog, televisi lokal memiliki beban untuk menjalankan kedua fungsi tersebut. Saat migrasi ke digital, TV lokal dapat menyerahkan soal transmisi kepada penyelenggara multipleksing atau provider MUX.
"Kalau tadinya di analog itu satu kanal satu station, satu pita frekuensi satu station, kalau di digital satu pita frekuensi bisa dipecah lagi antara 6 sampai 10 station," kata Imam.
"Berarti, peta persaingannya akan berubah, kue yang tadinya dikuasai oleh 10 orang, tiba-tiba harus diperebutkan oleh sekian banyak orang," Imam melanjutkan.
Sehingga, TV lokal dapat fokus menggarap konten dan program. "Dulu itu TV lokal kecil karena ditakdirkan kecil, sekarang tidak. Kalau kontennya bagus, ya bisa bagus," Imam menambahkan.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama DPR dalam Undang-Undang Cipta Kerja telah sepakat tanggal 2 November 2022 sebagai batas akhir siaran TV analog.
Sesuai dengan rancangan aturan teknis, Lembaga Penyiaran Publik (LPP), Lembaga Penyiaran Swasta (LPS), dan Lembaga Penyiaran Komunitas jasa penyiaran televisi wajib menghentikan siaran televisi analog paling lambat pada tanggal 2 November 2022 pukul 24.00 Waktu Indonesia Barat.
Penetapan LPP TVRI sebagai Penyelenggara Multipleksing (MUX) dilakukan oleh Menteri Kominfo tanpa melalui evaluasi atau seleksi. Sedangkan penetapan Penyelenggara MUX untuk LPS dilakukan oleh Menteri melalui seleksi dan evaluasi.
Baca juga: ASO selesai dalam dua tahun, apa manfaat untuk masyarakat?
Baca juga: RUU Cipta Kerja akan pengaruhi analog switch off
Kesiapan ASO
Menurut Imam, penyelenggaraan ASO harus memperhatikan kesiapan industri dan pasar, apakah siap secara teknologi, siap secara keuangan dan siap secara mental.
Dari sudut pandang industri, Imam mengatakan industri perlu memiliki kemampuan permodalan untuk membeli perangkat dalam hal beralih dari analog ke digital.
Meski begitu, kesiapan tersebut, menurut Imam adalah suatu keniscayaan yang pasti terjadi. "Mau kita enggak ASO pun, mereka akan harus berubah, karena teknologi sekarang sudah digital semua," ujar dia.
Sementara itu, dari sudut pandang pasar, Imam melihat yang banyak diributkan selama ini adalah masyarakat yang tidak siap, karena ada anggapan TV digital itu mahal.
Namun, hal itu bisa disiasati dengan alat khusus bernama set top box. Alat ini dapat menjadi penerima siaran TV digital, meskipun pesawat televisi masih analog, sehingga masyarakat masih dapat menggunakan TV lama yang tidak memiliki kemampuan digital.
Harga set top box, menurut Imam, saat ini sudah tidak terlalu mahal. Dari pantauan Antara sendiri, pada sejumlah lapak di e-commerce Tokopedia dan Shopee misalnya, beberapa ada yang menawarkan set top box dengan harga berkisaran Rp200.000.
"Kalau dulu set top box itu mahal, sekarang murah, jadi sudah tidak relevan lagi itu. Pada akhirnya kesiapan untuk menghadapi persaingan saja," kata Imam.
Pemerintah melalui Kominfo telah berencana untuk membagikan kurang lebih sebanyak 7 juta set top box kepada keluarga kurang mampu sebagai komitmen penyelenggaraan siaran TV digital.
Kemudian, pemerintah, menurut Imam, juga harus siap untuk membuat regulasi-regulasi pendukung. Sebab, TV digital akan memunculkan banyak kesempatan, sekaligus problematika baru, misalnya soal iklan.
"Ada beberapa hal yang perlu diatur, tapi hal itu harusnya tidak sulit lah," ujar Imam.
"Semakin cepat ASO semakin bagus," dia menambahkan.
Baca juga: IPTV optimistis menangi persaingan di bisnis televisi berbayar
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2020