"Urgensinya sangat besar. Kekerasan seksual tidak hanya memberikan dampak kepada korban saja, tetapi juga pola pikir masyarakat secara luas," kata Bintang melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat.
Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) selama 2020 mencatat 6.554 kasus kekerasan terhadap perempuan dengan korban mencapai 6.620 orang.
Baca juga: Kekerasan berbasis gender online jadi sorotan Indonesia-Inggris
Baca juga: Menteri PPPA: Konstruksi sosial yang rugikan perempuan harus dihapus
Baca juga: Seni instalasi penyintas kekerasan seksual dipamerkan
Bintang mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan bentuk komitmen dan perwujudan mandat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta keprihatinan yang tinggi terhadap jumlah perempuan korban kekerasan yang terus meningkat.
"Kita harus bisa melindungi generasi selanjutnya dengan menciptakan sistem pencegahan, pemulihan, penanganan, dan rehabilitasi yang benar-benar menghapuskan kekerasan seksual," tuturnya.
Bintang mengatakan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mulai dari konsep, naskah akademik, hingga kesepakatan dalam bentuk RUU telah melalui proses yang sangat panjang.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diharapkan dapat mengisi celah kekosongan hukum mulai dari pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi yang berperspektif korban dan memberikan efek jera pada pelaku.
DPR akan membahas RUU yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Sebelumnya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikeluarkan dari Prolegnas 2020 karena menunggu kepastian dari aspek hukum yang masuk dalam ranah pembahasan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Baca juga: RUU penghapusan kekerasan seksual kebutuhan mendesak
Baca juga: Komnas Perempuan ajak dukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021