Pertengahan Juni 2021, ANTARA mengikuti tur satu hari WeTravel dalam media trip tiket.com. Dimulai pada pagi hari dari Kota Mataram, kami menyusuri jalan raya yang lengang menuju desa tembikar, sentra tenun, rumah adat masyarakat Sasak, pantai Kuta Mandalika, gua dengan pancaran sinar matahari indah dan dramatis dan diakhiri dengan menanti matahari terbenam di bukit yang punya pemandangan menakjubkan.
Desa Gerabah Banyumulek
Pernak-pernik kecil dari tanah liat mulai dari tempat sambal, asbak hingga vas ukuran besar ada di sini. Ragam gerabah bisa Anda temui di sini, tinggal memilih mana yang disukai. Biasanya, pengunjung bisa melihat proses pembuatan gerabah. Namun sepinya wisatawan akibat pandemi berdampak juga terhadap suasana tempat penjualan gerabah yang lengang, demonstrasi pembuatan gerabah pun tidak ada.
Ada yang khas dari gerabah di Lombok: kendi maling. Kendi ini punya bentuk yang unik. Tidak ada lubang untuk memasukkan air di atas, sebab airnya hanya bisa dimasukkan dari bawah. Kendi harus dibalik, kemudian air dikucurkan lewat pantatnya. Setelah dibalik, airnya sama sekali tidak tumpah. Rupanya rongga bagian dalam kendi memang dirancang serupa kerucut agar air yang masuk takkan mengucur lewat bawah. Bukan cuma bentuknya yang unik, air yang disimpan dalam kendi juga akan lebih sejuk sehingga lebih terasa segar.
Desa Sukarara
Tenun dari desa Sukarara salah satu yang paling tersohor hingga ke mancanegara. Desa di kecamatan Jonggat, Lombok Tengah ini memang merupakan desa penghasil kain songket. Di sentra penjualan tenun, pengunjung bisa menyaksikan sendiri proses menenun yang dipraktikkan oleh ibu-ibu setempat. Menurut pemandu, perempuan di sana sudah diajari menenun sejak kecil karena keahlian tersebut harus dikuasai agar bisa menikah kelak. Sebab, pandai menenun merupakan syarat yang harus dipenuhi bila ingin menikah. Anda bisa membeli tenun buatan tangan berupa selendang, peci, taplak meja hingga kain tenun berukuran besar. Harganya berkisar dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah.
Setelah puas melihat-lihat dan berbelanja, melipir sejenak ke area di dekat situ, di mana pengunjung bisa melihat rumah adat suku Sasak, atau memakai busana adat Lombok dan berfoto dengan latar belakang rumah tradisional yang dindingnya dari anyaman bambu dan atapnya dari alang-alang kering. Sebelum pandemi, desa ini kedatangan banyak rombongan wisatawan. Parkiran yang biasanya penuh mobil kini sepi. Menurut pegawai setempat, jumlah pengunjung yang datang untuk melihat-lihat tenun di sana turun drastis akibat virus corona.
Baca juga: Pedas gurih sate rembiga, hidangan wajib coba di Lombok
Baca juga: Enam negara ikut konferensi di Lombok bahas pemulihan ekonomi
Baca juga: NTB siap gelar L'Etape Indonesia Tour de France 2021
Desa Sade
Mau tahu seperti apa kehidupan masyarakat suku Sasak di Lombok? Anda harus mampir ke Desa Sade. Meski namanya desa, tapi lokasinya sangat strategis, persis di pinggir jalan raya. Dilindungi pagar kayu, pintu masuk menuju desa Sade terlihat mencolok dengan hiasan tulisan selamat datang. Sesuai dengan situasi di tengah pandemi, semua wisatawan diwajibkan mengikuti protokol kesehatan seperti memakai masker, mencuci tangan di wastafel yang ada di pintu masuk serta menjaga jarak aman.
Bobi, ketua forum pemandu lokal, menyambut rombongan kami siang itu. Mengenakan kemeja lengan panjang dan ikat kepala sapuk, dia memberi gambaran mengenai desa Sade yang dihuni sekitar 700 orang dengan pekerjaan utama bertani. Semuanya berasal dari satu garis keturunan dan pernikahan antar sepupu merupakan hal wajar. Mereka jarang menikah dengan orang dari luar desa karena khawatir akan mengikis adat dan tradisinya yang sudah mengakar. Agar tradisi tetap lestari, pernikahan dengan orang dari desa yang sama tetap jadi pilihan utama.
Dia menjelaskan, dalam satu keluarga, anak lelaki bungsu boleh tinggal di desa tempat kelahirannya. Sementara itu, anak laki-laki yang bukan bungsu ketika menikah kelak diharuskan untuk membuat kampung sendiri di luar.
Soal pernikahan, ada tradisi kawin lari yang dipraktikkan masyarakat setempat. Dalam tradisi tersebut, dua sejoli yang sudah saling suka sama-sama membuat janji untuk kabur. Perempuan akan diculik oleh pihak laki-laki pada malam hari. Nantinya, pihak lelaki akan mendatangi keluarga perempuan untuk mengabarkan keberadaan sang putri. Baru setelah itu mereka akan dinikahkan. Tradisi seperti pertunangan tidak berlaku di sana. Malah, pertunangan disebut justru akan membuat keluarga perempuan tidak dihargai.
Baca juga: Pemkab Lombok Barat-BP2MI bersinergi cegah penempatan PMI ilegal
Setelah mendengar pemaparan singkat, rombongan diajak untuk berjalan-jalan menyusuri desa. Rumah-rumah tradisional yang sederhana berdiri berdekatan. Sebelum menapaki jalan yang menanjak, kami dipersilakan untuk melihat seperti apa isi rumah masyarakat Sade yang dibuat dari bambu sebagai tiang penyangga dan alang-alang yang diganti setiap tujuh tahun di bagian atapnya.
Atapnya pendek, jadi orang harus membungkukkan kepala ketika masuk, ini juga merupakan bentuk penghormatan. Begitu masuk dan menaiki lantai tanah liat yang berundak, pengunjung langsung disambut dengan tempat tidur sederhana untuk orangtua. Masih ada satu ruangan lagi di dalam, khusus untuk dapur dan tempat tidur anak perempuan. Pemandu menjelaskan, anak laki-laki tidak punya tempat tidur khusus di dalam rumah karena mereka biasanya tidur di luar rumah.
Tradisi unik di desa ini adalah "mengepel" lantai tanah liat dengan kotoran sapi yang masih hangat dan "segar". Dipercaya, kotoran sapi ini bisa memperkuat lantai serta menolak bala. Umumnya lantai dilumuri dengan kotoran sapi seminggu sekali dengan menggunakan tangan kiri. Terlihat jelas rumah yang baru saja dipel, lantainya cokelat kehijauan dan di bagian luar tergeletak ember berisi kotoran sapi. Pemandu menambahkan, kebiasaan ini tidak berlaku untuk lantai masjid di desa yang masyarakatnya memeluk agama Islam.
Di antara rumah-rumah, banyak warga yang memajang hasil tenun mereka, ada juga yang sedang praktik menenun. Gelang-gelang aneka warna, kain, hingga baju bisa dibeli langsung di sana.
Sebelum mengakhiri tur di desa Sade, kami berjalan kaki hingga pohon cinta, pohon kering yang disebut sebagai tempat pertemuan para muda-mudi.
Baca juga: "Work from Bali" akan berdampak positif untuk Lombok
Baca juga: Dukung "Work from Lombok", Mataram siapkan fasilitas pendukung
Baca juga: Moeldoko temui tokoh agama Lombok Tuan Guru Haji Turmudzi
Pantai Kuta Mandalika
Pantai Kuta yang cantik di Mandalika asyik untuk bersantai, bahkan orang-orang sudah menikmati suasana di sana meski panas matahari masih terik menyengat pada siang hari. Ada yang piknik di rerumputan yang adem berkat pohon-pohon yang memayungi mereka, ada yang berenang, menyusuri pasir putih, berfoto-foto di atas batu karang, atau sekadar menikmati fasilitas bermain anak seperti perosotan dan ayunan. Tak jauh dari pantai ada deretan penginapan hingga tempat makan untuk para pengunjung yang ingin mengisi perut atau beristirahat.
Gua Bangkang
Kami melewati jalan berbukit-bukit sebelum tiba di Gua Bangkang. Mobil hanya bisa berhenti di luar gerbang masuk yang dibuat secara sederhana dengan kayu dan bambu. "Bat Cave", begitu tulisan yang ada di gerbang. Butuh beberapa menit berjalan kaki di jalan berbatu sebelum tiba di pos yang menandai kami telah tiba di tujuan. Kala itu sama sekali tidak ada pengunjung lain. Penjaga bergegas membuka pintu yang mengarah kepada tangga menuju gua. Tangga yang serupa dengan tangga menuju shelter TransJakarta mempermudah pengunjung untuk turun. Bau kotoran kelelawar langsung menyeruak ke rongga hidung. Di sudut yang gelap, terlihat banyak kelelawar sedang bergelantungan. Banyak pula kecoa di sudut-sudut dan dinding gua. Tapi yang menjadi daya tarik dari Gua Bangkang adalah sorotan cahaya matahari yang layak Instagram. Di pos masuk memang ada beberapa foto wisatawan dengan pose menawan yang mencolok berkat sorotan sinar matahari yang mirip gambaran adegan dramatis di film.
Pantai Mawun
Pantai Mawun berlokasi di desa Tumpak, kecamatan Pujut, Lombok Tengah. Suara desir ombak dan semilir angin membuat acara bersantai di pantai Mawun jadi lebih menyenangkan. Anda bisa duduk-duduk di pasir, membawa alas sendiri atau membayar sewa kursi dan payung yang tersedia di sana, kemudian menyedot air kelapa yang disajikan langsung dari batoknya. Pantai ini "diapit" oleh dua bukit yang indah di kanan dan kiri. Pasirnya putih dan asyik untuk berjalan-jalan tanpa alas kaki. Sempatkan waktu untuk mampir ke sini bila Anda suka bersantai-santai di pantai.
Bukit Merese
Butuh sekitar 40 menit perjalanan dengan mobil dari pantai Mawun ke bukit Merese di kawasan Kuta Mandalika. Sejak awal kami diwanti-wanti untuk bersiap mendaki, tapi ternyata medannya relatif mudah. Tak butuh waktu lama untuk naik ke bukit. Jika Anda berjalan santai dari parkiran mobil, mungkin hanya butuh belasan menit atau kurang dari itu untuk tiba di bukit yang luas.
Petang itu cukup banyak orang-orang yang menantikan senja di bukit Merese. Mereka yang datang untuk mengabadikan momen indah lewat kamera memilih lokasi-lokasi di sudut bukit. Anda bisa menikmati pemandangan Tanjung Aan di sini. Bukitnya sangat luas, jadi Anda yang belum puas mendaki masih bisa mengeksplorasi hingga ke ujung untuk melihat pemandangan Samudera Hindia.
Dilihat dari sudut mana pun, hanya ada pemandangan memukau yang membuat Anda ingin duduk berlama-lama di sana. Menantikan matahari terbenam sambil mengunyah jajanan hangat bukan hal mustahil di bukit Merese. Di bukit ada pedagang-pedagang yang membawa motor berisi aneka jajanan. Jangan lupa membawa air sendiri agar tak perlu repot turun bukit demi membeli minuman kemasan demi melegakan dahaga. Sayangnya, keindahan bukit Merese sedikit ternodai akibat sampah-sampah yang ditinggalkan oleh pengunjung tak bertanggungjawab.
Senja di bukit Merese menjadi penutup dari perjalanan yang meninggalkan banyak foto dan video menakjubkan, pengingat betapa kaya dan indahnya alam Indonesia.
Baca juga: Pembangunan sirkuit Mandalika capai 77 persen
Baca juga: Seekor paus ditemukan mati terdampar di pantai Lombok Utara
Baca juga: Dukung Superbike, PUPR: Bypass Bandara Lombok harus tuntas September
Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2021