Ilmuwan berupaya percepat uji vaksin COVID-19

20 Juli 2021 21:49 WIB
Ilmuwan berupaya percepat uji vaksin COVID-19
Botol kecil dengan label vaksin penyakit virus korona (COVID-19) Pfizer-BioNTech, AstraZeneca, dan Moderna terlihat dalam foto ilustrasi yang diambil Jumat (19/3/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/hp/cfo/am.
Para ilmuwan tengah bekerja untuk menemukan tolok ukur (benchmark) bagi efikasi vaksin COVID-19 yang memungkinkan produsen melakukan uji coba pada manusia yang lebih sedikit dan lebih cepat sehingga vaksinnya bisa segera dipakai untuk mengatasi kelangkaan global.

Mereka sedang berusaha menentukan seberapa banyak antibodi COVID-19 yang harus diproduksi oleh sebuah vaksin agar penerimanya terlindung dari penyakit.

Para regulator sudah menggunakan patokan semacam itu --dikenal sebagai korelasi perlindungan (correlate of protection)-- untuk mengevaluasi vaksin flu tanpa harus melakukan uji klinis yang lama dan melibatkan banyak orang.

"Anda bisa menggunakan itu untuk memprediksi efikasi dari sebuah vaksin, yang akan menjadi lebih penting saat kita tak mampu melakukan uji coba terkontrol-plasebo" kata Stanley Plotkin, penemu vaksin Rubella dan pakar korelasi perlindungan.

"Informasinya sudah mulai masuk," katanya. "Pada akhir tahun ini, saya pikir akan ada cukup data untuk meyakinkan setiap orang."


Baca juga: Tingkatkan perlindungan, Thailand campur vaksin Sinovac & AstraZeneca


Sebuah tolok ukur yang bersifat tetap bagi COVID-19 akan memungkinkan produsen melakukan uji coba klinis hanya dengan sekian ribu orang, atau sekitar sepersepuluh ukuran penelitian yang diperlukan untuk mendapatkan izin penggunaan vaksin, kata peneliti dan produsen kepada Reuters.

Penelitian yang melibatkan puluhan ribu sukarelawan itu membandingkan tingkat infeksi COVID-19 pada orang yang menerima suntikan vaksin dengan tingkat infeksi orang yang menerima plasebo.

Uji coba terkontrol secara acak seperti itu mungkin tidak lagi dianggap etis di sejumlah negara, karena peneliti tidak boleh memberi suntikan palsu (plasebo) sementara vaksin yang efektif tersedia secara luas.

Selain itu, banyak vaksin baru sedang dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan kecil yang mungkin tak mampu melakukan uji coba massal tanpa bantuan dana dari pemerintah atau mitra berkantong tebal.

Dengan sebuah korelasi perlindungan, produsen dapat memeriksa sampel darah dari sejumlah kecil peserta uji coba yang menerima vaksin eksperimental untuk melihat apakah mereka memproduksi antibodi pelindung sesuai patokan.


Baca juga: Vietnam akan padukan dosis vaksin Pfizer dan AstraZeneca


Patokan semacam itu "sangat diperlukan" untuk membantu mengatasi tantangan yang dihadapi pengembang vaksin dan mempercepat ketersediaannya di pasar, kata Dr. Florian Krammer, ahli virus dari Icahn School of Medicine Rumah Sakit Mount Sinai di New York dalam sebuah artikel di jurnal Nature bulan ini.

Para peneliti Universitas Oxford akhir bulan lalu mengajukan calon korelasi perlindungan berdasarkan antibodi yang ditemukan pada penerima vaksin AstraZeneca. Hasil penelitian mereka menunggu ulasan sejawat oleh ilmuwan lain.

Hasil penelitian yang didukung AS pada vaksin Moderna diharapkan dapat dipublikasikan dalam jurnal kedokteran akhir musim panas ini.

"Kami sedang menyusun laporannya saat ini," kata Dr. Peter Gilbert, ahli biostatistika dari Pusat Penelitian Kanker Fred Hutchinson.

Sejumlah pakar vaksin mempertanyakan apakah kadar antibodi akan menjadi indikator perlindungan yang cukup kuat. Komponen lain pada sistem kekebalan, seperti sel T dan sel B, dianggap memberikan pertahanan penting melawan COVID-19, tapi lebih sulit untuk diukur.

Pertanyaan itulah yang dicari jawabannya oleh para pakar vaksin terkemuka di Pfizer yang bersama BioNTech membuat salah satu vaksin COVID-19 paling efektif yang sudah diproduksi besar-besaran secara global.

Ada kemungkinan setiap jenis vaksin virus corona akan memerlukan korelasi perlindungannya sendiri, kata sejumlah pakar.

Produsen yang mengembangkan jenis vaksin baru mungkin tidak bisa menggunakan korelasi dari vaksin Moderna yang berbasis mRNA, kata mereka.

Menjembatani Celah

Sementara itu, para pengembang vaksin tengah berupaya merancang pengganti yang bisa diterima bagi uji coba terkontrol-plasebo yang besar.

Beberapa pengembang bermaksud untuk menunjukkan bahwa vaksin mereka memicu respons antibodi, setidaknya sebagus vaksin lain yang telah diizinkan beredar.

Regulator kesehatan di Eropa dan Inggris bekerja sama dengan sejumlah perusahaan untuk menetapkan standar bagi penelitian "immunobridging".

Badan pengawas obat dan makanan AS, FDA, menolak untuk menjawab apakah mereka akan menerima uji klinis seperti itu bagi vaksin-vaksin generasi berikutnya.

"Tak harus menjadi korelasi perlindungan, tapi kami harus... mencapai kriteria pra-spesifikasi yang tepat, sebab kami tak bisa mengambil risiko bahwa vaksin generasi kedua... memiliki efikasi yang rendah atau sedang," kata pejabat vaksin FDA Dr. Marion Gruber kepada para regulator dalam pertemuan di WHO pada Mei. "Hal itu dapat merusak kepercayaan pada perusahaan vaksin."


Baca juga: Perkembangan COVID-19 yang perlu Anda ketahui


ReiThera Srl di Italia sedang mengembangkan vaksin dengan teknologi serupa AstraZeneca dan akan mencoba menunjukkan bahwa vaksin mereka sama efektifnya.

Perusahaan itu memiliki perjanjian prinsip untuk rancangan percobaan dengan regulator Eropa dan Inggris, kata direktur senior ReiThera Stefano Colloca kepada Reuters.

Uji klinis yang masif "tak lagi etis dan layak dilakukan di sebagian besar negara di dunia," katanya.

Perusahaan bioteknologi Prancis Valneva dan Medigen Vaccine Biologics Corp di Taiwan berencana menguji vaksin mereka dengan vaksin AstraZeneca, meski keduanya dibuat dengan teknologi berbeda.

Rancangan percobaan Valneva telah disetujui oleh regulator Inggris dan Medigen telah mendapat lampu hijau dari otoritas Taiwan.

Sanofi, yang bermitra dengan GlaxoSmithKline dan Medicago Kanada, tetap memilih untuk melakukan uji klinis terkontrol-plasebo yang melibatkan ribuan peserta, termasuk di negara-negara dengan tingkat penularannya tinggi dan ketersediaan vaksinnya lebih sedikit.

Perlu Vaksin Penguat?

Perburuan korelasi tengah berlangsung dari Inggris hingga AS dan Australia.

Para ilmuwan tengah membandingkan kadar antibodi penerima vaksin yang terinfeksi COVID-19 dengan yang tidak, untuk menemukan ambang batas perlindungan yang membuat perbedaan.

Peneliti Universitas Oxford mengatakan diperlukan upaya untuk mencari korelasi perlindungan bagi varian-varian virus yang terus bermunculan, seperti varian Delta yang sangat menular dan kini mendominasi kasus global.

Model antibodi yang mereka usulkan didasarkan pada sukarelawan uji klinis yang sebagian besar terinfeksi varian Alfa, yang terdeteksi pertama kali di Inggris.

Ilmuwan pemerintah AS sedang mempelajari infeksi pada orang yang mendapatkan vaksin Moderna. Juru bicara Moderna mengatakan perusahaannya juga tengah menganalisis hal itu dan akan mempublikasikan perkembangannya jika tersedia.

Patokan korelasi mungkin juga bisa mengindikasikan kapan dan apakah seseorang memerlukan vaksin penguat.

Pfizer telah mengajukan izin untuk pemberian dosis ketiga vaksinnya sebagai penguat, dengan menunjukkan bukti kadar antibodi penetralisir yang menurun.

Namun perusahaan itu menolak gagasan bahwa antibodi yang sama dapat digunakan untuk memprediksi efikasi vaksin.

"Tidak ada linimasa formal untuk mendapatkan korelasi perlindungan yang bersifat tetap," kata juru bicara Pfizer. "Kami akan terus bekerja dengan komunitas ilmiah untuk lebih memahami respons kekebalan mana, apakah antibodi penetralisir atau yang lain, yang berkontribusi pada perlindungan."

Sumber: Reuters


Baca juga: Arab Saudi izinkan warga penerima vaksin ke luar negeri

Baca juga: Vietnam setujui transfer teknologi vaksin COVID-19 Rusia dan AS

Pewarta: Anton Santoso
Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2021