Hidilyn Diaz tidak saja lebih kuat (fortius) dan Flory Duffy tidak hanya lebih cepat (citius), tetapi juga memberi energi dan semangat lebih besar kepada negara mereka.
Prestasi kedua wanita yang sudah pasti disambut bak pahlawan begitu pulang ke negerinya itu jauh melebihi diri mereka sendiri karena itu sudah tumpah bertransformasi menjadi prestasi seluruh negeri, prestasi Filipina, prestasi Bermuda.
Medali emas mereka adalah medali emas pertama kedua negara selama mengikuti Olimpiade.
Bagi Filipina, emas ini akhir penantian selama 97 tahun, sementara bagi Bermuda kurang lebih sama bahkan merupakan medali kedua sejak Clarence Hill menyabet perunggu tinju kelas berat dalam Olimpiade Montreal 1976.
Sejak Diaz tuntas mencatat total angkatan 224 kilogram untuk memecahkan rekor Olimpiade pada angkat besi putri kelas 55kg putri, media massa dan rakyat Filipina serempak menghamburkan pujian dan menyenandungkan kidung kebahagiaan. Seluruh negeri dimabuk suka cita tertinggi.
Baca juga: Hidilyn Diaz sumbang emas pertama untuk Filipina
"Gold!", tulis Manila Times dalam headlinenya hari ini, sedangkan laman The Philippine Star menurunkan judul utama "Herstory made: Hidilyn Diaz breaks Philippines’ Olympic gold dry spell". Laman The Inquirer lain lagi, tak kurang empat berita tentang Diaz dipajang lama sebagai headline webnya.
"Selamat, Hidilyn. Seluruh bangsa Filipino bangga kepadamu," kata juru bicara kantor kepresidenan Filipina Harry Roque, tak lama setelah Diaz memastikan medali emas pertama Olimpiade untuk Filipina.
Medali emas ini makin istimewa karena dibubuhi titel rekor Olimpiade yang bahkan dia ciptakan dalam usia yang tidak muda lagi bagi seorang atlet.
"Saya sudah berusia 30 tahun dan saya kira penampilan saya bakal turun, tapi saya kaget saya ternyata bisa melakukannya,” kata Diaz seperti dikutip Reuters.
Diaz sejenak bisa melupakan tahun-tahun pahit karena harus menjalani isolasi, pengorbanan, latihan keras, dan nutrisi ketat yang mempersembahkan medali emas Olimpiade pertama Filipina. Kini dia bisa menikmati segala makanan kesukaannya yang dulu dijauhinya demi prima mengangkat barbel.
"Ya, saya akan makan banyak malam ini," kata dia diiringi senyum kepada AFP tentang rencananya setelah angkatan terakhirnya seberat 127kg memastikan medali emas dan sekaligus memecahkan rekor Olimpiade yang sebelum ini menjadi milik pemegang rekor dunia China Liao Qiuyun.
"Saatnya merayakan bersama dengan orang-orang yang ada di belakang saya. Jadi ya, saya bersyukur sekali sekarang bisa makan lagi," kata sang lifter putri Filipina.
Selanjutnya bersyukur ilhami ...
Bersyukur ilhami kaum muda
Sebelum sukses di Tokyo, Dia sudah mendapatkan tempat khusus dalam dongeng olahraga Filipina bersama atlet-atlet seperti Manny Pacquiao sebagai satu-satunya perempuan dari negeri itu yang meraih medali Olimpiade ketika merebut medali perak kelas 53kg dalam Olimpiade Rio lima tahun silam.
Prestasi Rio itu mengakhiri paceklik medali sejak negeri itu pertama kali mengikuti Olimpiade Paris 1924.
Diaz sudah bertekad mengubah perak di Rio itu menjadi emas di Tokyo. Dia pun merekrut pelatih kenamaan China Gao Kaiwen dua bulan sebelum Filipina mengikuti Asian Games 2018 di Jakarta.
Gao yang pernah melatih tim putri angkatan darat China dan sejumlah atlet China peraih medali Olimpiade termasuk peraih medali emas kelas super berat Olimpiade 2012, Zhou Lulu.
"Dia orang yang positif dan saya suka dia mendampingi saya," kata Diaz, apalagi Diaz sendiri adalah tentara yang berdinas pada Angkatan Udara Filipina.
Berkat polesan Gao, piaz semakin meningkat setelah selalu gagal masuk podium medali dalam Olimpiade Beijing dan London.
Gao menggojlok Diaz sampai kemudian masuk pelatih kedua, Julius Naranjo yang sejak itu kemajuan angkatannya menjadi sangat fenomenal.
Dia sukses dalam angkatan snatch 92kg dan clean and jerk 115kg tiga tahun lalu untuk menjuarai Asian Games. Itu 7 kg lebih berat dari total angkatan berujung medali peraknya pada Olimpiade Rio.
Baca juga: OLIMPIADE 2016 - Filipina menangkan medali pertama dalam 20 tahun
Senin kemarin di Tokyo, dia memecahkan lagi rekor itu lewat angkatan snatch 97kg dan tiga kali upaya clean and jerk untuk beban 119kg, 124kg dan 127kg.
Prestasinya ini istimewa mengingat jauh sebelum itu Diaz terpaksa tinggal di pengasingan di Malaysia sejak Februari tahun lalu gara-gara pandemi.
Dia terpaksa melupakan dahulu keluarga, angkatan udara, kuliahnya dan sanggar angkat besinya di kota kelahirannya Zamboanga di Pulau Mindanao di Filipina selatan.
Kini dia sudah tidak sabar untuk pulang guna berkumpul lagi bersama keluarganya yang sejak Desember 2019 dia tinggalkan.
Dia awalnya berlatih di Malaysia pada Februari 2020 agar fokus lolos ke Tokyo. Tapi lockdown membuat dia terkurung di apartemennya di Kuala Lumpur. Tapi Dia pantang menyerah.
Dan kini semua kesulitan itu menjadi kisah masa lalu. Dia akan segera kembali ke negerinya yang sudah menjanjikan sambutan layaknya pahlawan untuk Diaz.
"Saya tak tahu apakah saya ini pahlawan nasional. Tapi saya bersyukur kepada Tuhan telah menggunakan saya untuk mengilhami generasi muda dan rakyat Filipina agar terus berjuang selama pandemi ini," kata dia kepada AFP.
Selanjutnya bakal terbiasa ...
Bakal terbiasa disebut juara Olimpiade
Sambutan bak pahlawan juga disiapkan untuk Flora Duffy di Bermuda yang hanya berpenduduk 64.000 orang.
Wilayah yang masuk teritori Inggris di seberang lautan ini menjadi negara terkecil yang memperoleh medali emas Olimpiade Musim Panas.
Duffy sudah berharap kiprah dan prestasi Olimpiade yang dia torehkan menginspirasi generasi muda Bermuda.
“Pencapaian ini semoga menginspirasi kaum muda Bermuda dan menunjukkan bahwa tampil di panggung dunia dari sebuah pulau kecil itu sangatlah mungkin terjadi,” kata dia seperti dikutip Reuters
Diuffy pernah mengambil bagian mulai dari Olimpiade 2008, London 2012, sampai Rio 2016. Tetapi hasil baik tak pernah menyapa dia, sampai akhirnya dia merebut medali emas Commonwealth Games 2018.
Penampilan yang terakhir ini ternyata menjadi titik tolak mencatat hasil terbaik dalam Olimpiade Tokyo dalam usia 33 tahun.
"Menjadi juara Olimpiade itu impian saya sejak kecil, jadi melewati garis finis hari ini sungguh hal yang melegakan," kata Duffy.
Atlet triatlon berusia 33 tahun itu finis pertama dengan mencatat waktu 1 jam 55 menit 36 detik atau satu menit lebih cepat dari pada atlet Britania Georgia Taylor-Brown yang memperoleh perak dan atlet Amerika Serikat Katie Zaferes yang kebagian medali perunggu.
Baca juga: Rajai triatlon, Duffy hadiahi Bermuda dengan emas pertama Olimpiade
"Saya kira selama sisa hidup saya nanti saya bakal terbiasa disebut juara Olimpiade,” kata Duffy yang pernah didera cedera terus-terusan dan bahkan didiagnosis mengidap anemia pada 2013.
Dua wanita berusia 30-an ini sungguh telah memberikan pelajaran berharga dan inspirasi rekan-rekan sebangsanya.
Tetapi prestasi kedua atlet ini juga menjadi inspirasi global, terutama bagi mereka yang tak mengenal istilah menyerah dalam menjalani sulit hidup di tengah pandemi dan ketika usia sudah menggerogoti raga.
Untuk semua prestasi, perjuangan dan inspirasi kedua perempuan hebat ini, mereka memang layak menjadi pahlawan untuk bangsanya.
Baca juga: Memang tersingkir, tapi Hend Zaza telah menginspirasi kaum muda
Baca juga: Skateboard dan kisah dua anak sekolahan menggebrak Tokyo 2020
Pewarta: Jafar M Sidik
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2021