Tetap perlu pertimbangan fortifikasi
Dosen dari Departemen Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada Dr. Siti Helmiyati mengatakan makanan berbasis pangan lokal dapat berpotensi mencegah terjadinya masalah gizi dan stunting pada anak usia di bawah dua tahun (baduta).
“Di mana di sini beragam teknik memasak kemudian rempah yang digunakan dan budaya-budaya makan yang ada, jadi makan tidak hanya untuk mencegah lapar dan kesehatan, tetapi juga untuk menunjukkan identitas bangsa dan budaya. Terkait untuk pencegahan stunting kita kembali kepada prinsip makanan beragam,” kata Siti dalam "Menu Sehat Dashat: Ragam Menu Dapur Sehat Atasi Stunting di Kampung Keluarga Berkualitas" secara daring di Jakarta, Jumat.
Berdasarkan penelitian di Myanmar, untuk menyusun rekomendasi makanan pendamping berbasis pangan lokal, Siti mengatakan pangan lokal seperti hati ayam, ikan teri, roeseloe leaves berpotensi mencegah difisiensi zat Ca, Zn, Fe, Niasin dan folat untuk anak usia 12 sampai 23 bulan.
“Jadi mereka memberikan rekomendasi makanan pendamping berbasis pangan lokal yang berpotensi mencegah masalah gizi baduta. Akan tetapi, tetap perlu pertimbangan fortifikasi untuk memastikan anak memperoleh seluruh kebutuhan gizinya ya,” kata dia.
Ia memberikan contoh menu balita dengan bahan pangan lokal milik Indonesia untuk usia enam sampai delapan bulan dapat diberikan bubur tahu sidat dari Jawa Barat atau bubur mengguh dari Bali yang dapat dimodifikasi untuk menjadi menu MP-ASI.
Baca juga: Kerja sama Kemenkes-GAIN bentuk generasi peduli gizi
Baca juga: BKKBN: Pandemi berdampak besar kurangnya pemenuhan gizi keluarga
Untuk usia sembilan hingga 11 bulan dapat diberikan ikan pelutuk bumbu kuning khas Kalimantan Barat yang dibuat tidak pedas dari ikan tawar karena mengandung omega3 dan vitamin D yang baik untuk tumbuh kembang bayi.
“Deadline dari WHO tentang makanan pendamping bagi balita, untuk mengkombinasikan makanan pendamping dengan makanan lokal. Karena mudah didapat dan meningkatkan asupan karena cita rasa sudah familiar dengan anak-anak,” Ujar Siti.
Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia Prof. Dr. Hardinsyah menjelaskan cita rasa dari makanan lokal stersebut harus bisa ditanamkan sejak bayi menjadi janin pada usia kehamilan terutama di trisemester ketiga.
“Cita rasa dari makanan tersebut harus ditanamkan sejak janin berada di trisemester ketiga. Termasuk cita rasa makanan ibu yang menyusui pada ASI. Jadi kalau ibu tidak intropeksi, jangan menyalahkan bayi,” kata Hardinsyah.
Hardin menjelaskan semua ibu hamil harus rajin dan disiplin mengkonsumsi buah, lauk pauk dan mulai memilah mana fast food lebih baik dihindari untuk dimakan atau tidak.
“Jadi kita menghapus ini, satu generasi mulailah dengan kehamilan. Ibu hamil disiplin untuk makan buah, makan lauk pauk, minimal tadi tidak semua fast food itu jelek. mari kita mulai dengan kehamilan, mulai dari persiapan hamil,” ucapnya.
Ia juga menyarankan semua ibu tidak boleh hanya bergantung pada makanan seperti fast food atau jajanan lainnya, karena ingin atau tidaknya seorang anak memakan makanan bergantung dari bagaimana ibu menyisihkan waktu untuk membuat makanan tersebut.
Baca juga: BKKBN: Penuhi gizi seimbang ibu hamil dan balita dengan pangan lokal
Baca juga: Pakar IPB University: Cegah stunting dengan optimalkan fungsi keluarga
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021