Jakarta yang landai

15 Agustus 2021 06:03 WIB
Jakarta yang landai
Pengurus RW menunjukan stiker vaksin yang akan ditempel di rumah warga di lingkungan RW 07, Kebayoran Lama Utara, Jakarta, Jumat (13/8/2021). Pemasangan stiker vaksin yang digagas oleh Ketua RW tersebut untuk mendata seluruh warga yang sudah dan belum divaksinasi COVID-19 beserta alasannya agar warga yang belum divaksin bisa mengikuti vaksinasi. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

Penghitungan terakhir dari tim FKM UI menunjukkan nilai Rt Jakarta tepat 1,0. Artinya pandemi melandai

Sejak diumumkan secara resmi bahwa virus corona telah ada di Indonesia pada 2 Maret 2020, seketika itu publik mulai dihantui ketakutan dan kecemasan.

Saat itu diumumkan adanya dua warga yang dinyatakan terinfeksi virus tersebut. Kepastian diperoleh berdasarkan hasil laboratorium.

Keduanya adalah perempuan warga Depok (Jawa Barat) yang sedang dirawat di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso di Jakarta Utara. Keduanya berhasil sembuh setelah dirawat intensif beberapa hari.

Baca juga: Anies sebut rumah sakit di DKI sempat kolaps akibat ledakan COVID-19

Tetapi kecemasan dan rasa takut tak surut karena telah terjadi penularan yang cepat; dari asisten rumah tangga, sejumlah warga di Ibu Kota hingga tenaga kesehatan (nakes).

Hari demi hari virus corona (COVID-19) makin tak terkendali. Metropolitan ini pun menjadi kota yang mengerikan karena jumlah warga yang terinfeksi terus bertambah.

Pembatasan aktivitas publik untuk mengerem dan memutus rantai penularannya oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dilakukan sejak 14 Maret 2020. Sarana dan prasarana serta tenaga kesehatan disiapkan lebih banyak lagi untuk mengantisipasi kecenderungan pertambahan kasus setiap hari.

Sejak saat itu mulai terasa tidak nyamannya kehidupan. Ketakutan dan kecemasan bercampuraduk dengan pembatasan aktivitas publik.

Terganggunya perekonomian tentu dirasakan masyarakat. Wabah inipun membenturkan perekonomian dan kesehatan.

Bergelombang
Inti perdebatan dan kontroversinya ada pada substansi mana yang harus didahulukan antara perekonomian dan kesehatan. Memprioritaskan kesehatan tetapi perekonomian makin terganggu atau mementingkan perekonomian yang akibatnya wabah semakin menelan korban.
Petugas menggunting gelang pasien COVID-19 yang telah dinyatakan sembuh di Rumah Sakit Darurat COVID-19 (RSDC) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, Rabu (11/8/2021). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/aww.

Perdebatan dan pertarungan itu bahkan mengemuka hingga 1,5 tahun wabah hingga hari-hari ini. Pembatasan dengan instrumen Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) maupun Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) telah beberapa periode.

Jakarta berada pada inti kebijakan pengendalian, bukan saja karena tingginya angka kasus baru setiap hari sejak awal, tetapi juga karena tingginya pertambahan kasus selalu menempatkannya berada di urutan teratas. Metropolitan ini selalu menjadi pusat (episentrum) wabah.

Baca juga: Anies apresiasi PWNU kembali gelar vaksinasi untuk warga DKI

Seluruh daya dan upaya dikerahkan untuk mengatasi wabah. Berjibaku dalam kolaborasi, semua pihak telah menunjukkan kerja kerasnya.

Hasilnya terlihat dari grafik dan kurva perkembangan wabah ini. Tren kasus baru yang diumumkan setiap hari umumnya selalu naik.

Tetapi bila dilihat dari awal, upaya keras pernah menunjukkan hasil cukup menggembirakan. Yakni pernah turun dan landai, namun naik dan melonjak lagi.

Pertambahan dan penurunan jumlah penurunan seperti gelombang; datang dan pergi. Ketika gelombang turun, aktivitas publik dilonggarkan, lalu diperketat lagi saat terjadi kenaikan kasus.

Begitulah drama kehidupan di tengah wabah virus ini. Irama kehidupan disesuaikan dengan gelombang perkembangan jumlah kasus baru yang kadang naik dan kadang turun.

Kenangan
Sejak Juni lalu, Jakarta menghadapi lonjakan kasus baru. Antisipasinya selain penyiapan fasilitas kesehatan (faskes) juga kesiapan tenaga kesehatan di rumah sakit.

Dari sisi faskes, sebenarnya sudah cukup banyak, yakni sebanyak 140 rumah sakit rujukan pasien COVID-19. Tetapi lonjakan kasus telah memaksa manajemen sebagian rumah sakit mengambil langkah darurat.

Hingga pertengahan Juli lalu, bukan hanya lorong atau selasar yang digunakan, tetapi didirikan tenda-tenda untuk perawatan pasien COVID-19. Itu pertanda bahwa situasi sudah sedemikian gawat karena seluruh tempat di dalam rumah sakit rujukan telah penuh.

Situasi buruk berlanjut ketika kebutuhan oksigen sangat tinggi tetapi persediaan di pasaran sangat sedikit. Akibatnya terjadi antrean di tempat-tempat penjualan oksigen.

Baca juga: Anies targetkan dalam 10 hari bisa capai dua juta vaksinasi

Beragam kisah nyata terukir dari hari ke hari. Setiap orang punya kisah bagaimana menyelami kehidupan di tengah wabah.

Juga para penyintas pasti punya cerita dan pengalaman bagaimana hingga bisa bertahan (survive) dari cengkeraman virus ini. Mereka yang tetap sehat juga punya narasi bisa tetap hidup dan sehat di saat semua aktivitas kehidupannya dijalani di tengah pembatasan dan tak jarang pembatasan mengakibatkan keterbatasan.

Kini setiap orang berharap kisah-kisah sedih itu tak akan terulang lagi. Juga cukuplah menjadi kenangan seiring dengan membaiknya perkembangan wabah COVID-19 di Ibu Kota.

Tak satupun pihak berani memastikan kapan wabah ini berakhir. Yang bisa dilakukan adalah menghindari agar tak terpapar dan jikapun terpapar pun cukuplah dalam skala ringan.

Landai
Meskipun sulit diprediksi kapan akan berakhir tetapi dengan ilmu dan data, tren saat ini bisa digunakan untuk membaca bagaimana ke depan. Dalam dua pekan terakhir tren kasus di Ibu Kota cenderung turun dengan tren cukup konsisten.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebutkan kasus COVID-19 di Ibu Kota sudah melandai. Itu karena nilai reproduksi efektif (Rt) mencapai tepat 1,0 berdasarkan kajian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI).
Ket gambar: Petugas menunjukkan obat Chloroquine yang akan diserahkan kepada RSPI Sulianti Saroso di Jakarta, Sabtu (21/3/2020). Kementerian BUMN menyerahkan sebanyak 1.000 butir Chloroquine kepada RSPI Sulianti Saroso sebagai simbol bahwa pemerintah bergerak untuk menangani penyebaran virus corona (COVID-19). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/pras.

Penghitungan terakhir dari tim FKM UI menunjukkan nilai Rt Jakarta tepat 1,0. Artinya pandemi melandai.

Meski melandai, namun diingatkan bahwa kasus COVID-19 di Ibu Kota belum berkurang. Karena itu, semua pihak harus berupaya menjaga agar kasus virus corona tidak naik lagi.

Nilai Rt (effective reproduction number) merupakan nilai yang menggambarkan kecepatan dan luasan potensi penularan wabah.

Baca juga: Anies ingin parameter objektif untuk tentukan level PPKM di DKI

Makin tinggi nilainya di atas satu,maka penularan akan semakin cepat dan meluas. Jika tepat satu, maka akan melandai dengan jumlah yang konstan.

Sedangkan bila nilainya di bawah satu, artinya pandemi terkendali dan kasus COVID-19 berkurang.

Capaian Rt 1,0 itu bisa diraih berkait kolaborasi untuk melakukan pengawasan PPKM Level 4 bersama Pemprov DKI, Polda Metro Jaya, Kodam Jaya dan seluruh aparat di wilayah untuk melakukan pelacakan hingga penanganan COVID-19.

PPKM ini telah dibarengi dengan sejumlah penyesuaian dan uji coba. Sebut saja penyekatan di 100 lokasi termasuk di perbatasan antarprovinsi diganti ganjil-genap di sejumlah ruas jalan. Juga pembukaan pusat perbelanjaan (mal) dengan keharuan pengunjung menunjukkan bukti vaksinasi.

PPKM Level 4 periode 9-16 Agustus berakhir pada Senin. Dengan penyesuaian dan uji coba di tengah perkembangan wabah yang landai, kehidupan kembali semarak di Ibu Kota.

Baca juga: Anies: DKI kurang 4 juta orang tervaksin untuk kekebalan komunal

Akankah PPKM diperpanjang lagi atau tetap PPKM tetapi dengan penyesuaian yang lebih diperlonggar?

Kita tunggu bagaimana keputusan pemerintah. Dengan keyakinan dan optimisme, apapun keputusannya, itulah jalan yang terbaik untuk segera mengakhiri pandemi ini.

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021