• Beranda
  • Berita
  • Sri Mulyani: Mekanisme pasar karbon akan sangat bergantung pada BEI

Sri Mulyani: Mekanisme pasar karbon akan sangat bergantung pada BEI

16 November 2021 15:29 WIB
Sri Mulyani: Mekanisme pasar karbon akan sangat bergantung pada BEI
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam acara CEO Networking 2021 di Jakarta, Selasa (16/11/2021). ANTARA/Agatha Olivia

Saya harap bursa bisa membangun dan mengantisipasi sehingga perdagangan karbon menjadi kredibel dan diakui di dunia

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan mekanisme pasar karbon di Indonesia akan sangat bergantung kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) karena akan menjadi platform untuk perdagangan.

"Saya harap bursa bisa membangun dan mengantisipasi sehingga perdagangan karbon menjadi kredibel dan diakui di dunia," kata Sri Mulyani dalam acara CEO Networking 2021 di Jakarta, Selasa.

Ia mengatakan pihaknya kini terus berkomunikasi dengan berbagai pemangku kebijakan mengenai pengembangan harga karbon yang sudah dikenalkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) dan menjadi landasan bagi Indonesia untuk memulai mekanisme pasar karbon.

Pengembangan pasar karbon di Tanah Air membutuhkan regulasi dan kapasitas secara nasional yang berkenaan dengan global, namun dengan tetap menjaga kepentingan Indonesia, di mana nantinya instrumen perdagangan akan dilengkapi dengan instrumen non perdagangan.

Sri Mulyani menyebutkan bahwa untuk perdagangan terdapat trading carbon dan mekanisme offsetting, sedangkan untuk non perdagangan akan dilakukan pajak karbon dan pendanaan kinerja melalui result base payment atau pihak yang melakukan pengurangan CO2 akan mendapatkan bayaran.

"Kita memiliki Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Lingkungan hidup (BPDLH) yang mengelola dana untuk bisa mendukung perdagangan maupun non perdagangan dalam instrumen pengembangan harga karbon, yang akan menjadi fokus dan melihat semua negara," katanya.

Ia menyampaikan bahwa harga karbon di berbagai negara berbeda-beda dan Indonesia akan menyesuaikannya, sebagai contoh di Kanada mencapai 40 dolar AS dan akan naik menjadi 125 dolar AS dalam waktu kurang dari lima tahun ke depan.

Dengan demikian, perbedaan harga karbon untuk komoditas tersebut berpotensi menimbulkan arbitrase, sehingga BEI harus bisa mengantisipasinya salah satunya dengan penerapan Enviromental Sustainable Governance (ESG) dan Monitoring, Reporting, Valuation (MRV) dalam perdagangan karbon nantinya.

"Jadi, tinggal dilihat ini merugikan atau menguntungkan. Jangan sampai justru Indonesia tidak bisa menjaga kepentingannya pada saat harga karbon tidak sama dan menimbulkan dampak arbitrase," kata Sri Mulyani.

Baca juga: Konferensi Iklim COP 26 hasilkan keputusan penting soal pasar karbon

Baca juga: Kemendag: Ekosistem perdagangan karbon di Indonesia sudah sangat siap

Baca juga: BLU perlu segera dibentuk dukung pasar karbon

Baca juga: Peluang pasar karbon terbuka di Tanah Air

 

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021