"Ini sama sekali tidak boleh menggunakan restorative justice," kata Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif Hiariej di Jakarta, Selasa.
Penyelesaian kasus kekerasan seksual tanpa menggunakan keadilan restoratif diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Alasannya, kata dia, kerap kali kasus kekerasan seksual yang terjadi pelakunya menggunakan uang sebagai solusi damai dengan pihak korban.
Selain itu, di dalam RUU TPKS tersebut juga disebutkan bahwa selain pidana penjara atau pidana denda, hakim wajib menetapkan besarnya jumlah restitusi kepada korban.
Baca juga: Wamenkumham: RUU TPKS tidak bertabrakan dengan undang-undang lain
Baca juga: Menteri PPPA berharap RUU TPKS bukan jadi dokumen semata
Baca juga: KPPPA apresiasi keterlibatan ormas dalam upaya hapus kekerasan seksual
Jika pelaku merupakan masyarakat ekonomi lemah atau menengah ke bawah dan tidak bisa membayar restitusi, maka polisi bisa menyita harta benda pelaku.
"Dalam RUU TPKS, begitu seseorang ditetapkan tersangka, polisi bisa melakukan sita jaminan untuk restitusi," ujar Prof Eddy.
Dengan demikian, sambung dia, RUU TPKS dibuat untuk betul-betul memberikan perlindungan kepada korban yang luar biasa. Salah satunya dalam bentuk sita jaminan harta pelaku.
Namun, jika jumlah harta benda pelaku tidak mencukupi untuk membayar restitusi bagi korban, maka pelaku dikenakan subsider pidana penjara.
Sementara, bila pelaku sama sekali tidak memiliki harta benda untuk membayar restitusi pada korban, negara akan memberikan kompensasi bagi korban guna rehabilitasi.
Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2022