• Beranda
  • Berita
  • Angka kekerdilan di atas 30 persen, empat kabupaten Jabar status merah

Angka kekerdilan di atas 30 persen, empat kabupaten Jabar status merah

12 Maret 2022 12:42 WIB
Angka kekerdilan di atas 30 persen, empat kabupaten Jabar status merah
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo (kiri) saat ditemui ANTARA di Kantor Pusat BKKBN, Jakarta. (FOTO ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti)

Tidak ada satu pun kabupaten atau kota di Jawa Barat yang berstatus biru, yakni dengan prevalensi di bawah 10 persen. Hanya Kota Depok yang memiliki angka prevalensi terendah dengan 12,3 persen

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan terdapat lima kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat (Jabar) memiliki angka prevalensi kekerdilan (stunting) di atas 30 persen atau masuk dalam status merah.

“Tidak ada satu pun kabupaten atau kota di Jawa Barat yang berstatus biru, yakni dengan prevalensi di bawah 10 persen. Hanya Kota Depok yang memiliki angka prevalensi terendah dengan 12,3 persen,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Berdasar Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021, ia menyebutkan empat kabupaten/kota dengan angka prevalensi di atas 30 persen itu adalah Kota Cirebon, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Bandung.

Kemudian, sebanyak 14 kabupaten/kota berstatus kuning atau angka prevalensi berkisar 20-30 persen seperti Bandung Barat, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cirebon, Kota Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Sukabumi, Kota Banjar, Majalengka, Pangandaran, Sumedang, Kabupaten Bekasi, Purwakarta serta Karawang.

Sementara sembilan kabupaten/kota memiliki status hijau atau angka prevalensinya mencapai 10-20 persen, yakni Kota Cimahi, Kota Sukabumi, Kuningan, Subang, Kota Bogor, Ciamis, Indramayu, Kota Bekasi serta Kota Depok.

Guna menurunkan angka prevalensi anak yang lahir dalam keadaan kerdil di Provinsi Jawa Barat itu, kata dia, BKKBN telah menurunkan sebanyak 37.184 tim pendamping keluarga (TPK).

Diturunkannya tim pendamping keluarga dalam jumlah banyak yang terdiri atas bidan, PKK dan kader KB itu, katanya, dirasa dapat menjalankan tugas strategis untuk meningkatkan akses informasi, pelayanan melalui penyuluhan, fasilitas pelayanan rujukan dan fasilitas penerimaan program bantuan sosial (bansos).

Tim itu juga bisa mendeteksi dini faktor risiko kekerdilan pada anak baik secara spesifik maupun sensitif. Dengan fokus sasaran pemberian pendampingan mencakup calon pengantin, ibu hamil, pasca persalinan dan anak-anak usia balita.

Selain menurunkan tim pendamping keluarga, ia juga menekankan bila pola pikir masyarakat yang lebih memilih "pre-wedding" dibanding menggunakan "pre-konsepsi" harus betul-betul diubah.

“jika dioptimalkan akan menjadi kekuatan besar dalam upaya percepatan penurunan stunting. Jika disetarakan dengan jumlah sumber daya manusia, keberadaan TPK tersebut sama dengan 111.552 orang,” kata Hasto Wardoyo.

Bupati Garut Rudy Gunawan mengatakan akan menyelaraskan program-program penurunan angka kekerdilan di daerahnya sesuai arahan dari pihak BKKBN.

Menurutnya, keterlibatan semua pihak menjadi penting untuk bisa membantu pemerintah lebih mencermati masalah kekerdilan di dalam masyarakat.

“Saya berkomitmen penuh bersama seluruh jajaran Pemerintahan Kabupaten Garut untuk melakukan sinergi dan konvergensi bagi penurunan stunting,” demikian Rudy Gunawan.


Baca juga: BKKBN upayakan stunting di Indonesia 2024 turun menjadi 14 persen

Baca juga: Cegah stunting, Jabar canangkan "Seribu Hari Pertama Kehidupan-Plus"

Baca juga: Desa Simpang Empat, dulu tertinggi kasus kekerdilan kini percontohan


Baca juga: BKKBN: Jateng masuk kasus "stunting" berprevalensi tinggi Indonesia

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022