"Mohon proaktif dan tipping fee nya dikasih, sehingga bisa jalan. Karena kepentingan kota itu yang lebih adalah lingkungan yang bersih dan sehat," tegas Jonan saat Rapat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Jakarta, Selasa.
Tipping fee sendiri adalah biaya yang dikeluarkan sebagai anggaran pemerintah kepada pengelola sampah, berdasarkan jumlah yang dikelola per ton atau satuan volume meter kubik (m3).
Jonan menegaskan bahwa isu sampah kota bukan merupakan isu utama energi, melainkan isu lingkungan. "Ini bukan isu energi yang dipertanggungjawabkan kepada kami sebagai penanggung jawab sektor. Sampah ini lebih kepada isu daerah, isu lingkungan," tegas Jonan.
Kementerian ESDM, imbuh Jonan, berkontribusi atas pengelolaan sampah pada bagian pengaturan harga jual listrik PLTSa dan menugaskan Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pembeli listrik.
Atas dasar tersebut, Jonan meminta kepada pemda untuk lebih proaktif dalam mengelola sampah. Apabila berkenan membangun pembangkit listrik berbasis sampah, Jonan berharap pemda setempat memberikan kelonggaran pada aturan tipping fee.
Baca juga: Pemerintah targetkan bangun PLTSa 190 MW hingga 2025
Baca juga: DKI habiskan Rp900 miliar olah sampah termal
Baca juga: Indonesia-Jepang kerja sama kelola sampah untuk energi
Meski begitu, Jonan tetap mendorong semua kota besar di Indonesia agar iuran pengelolaan sampah dimanfaatkan untuk kelistrikan. "Saya mendorong semua kota besar agar pengelolaan sampah bisa menjadi listrik dengan syarat tipping fee-nya dikasih," ujarnya.
Untuk diketahui, sektor kelistrikan terus meningkat di mata investor. Berdasarkan peringkat kemudahan berbisnis yang dilakukan oleh World Bank (ease of doing business) bidang kelistrikan, peringkat Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahun, di mana tahun 2017 peringkat 49 menjadi peringkat 38 di tahun 2018. "Target akhir Pemerintahan ini, diupayakan bisa di bawah 25," jelas Jonan.
Pewarta: Afut Syafril
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018