• Beranda
  • Berita
  • In Memoriam -- Sofyan Lubis sang wartawan tujuh zaman

In Memoriam -- Sofyan Lubis sang wartawan tujuh zaman

3 September 2018 00:49 WIB
In Memoriam -- Sofyan Lubis sang wartawan tujuh zaman
H. Sofyan Lubis (1941--2018). (Repro cover buku "Dalam Kemelut Pers Orde Baru”, 2017)

Senyum...senyum...senyum...”

Bangkok (ANTARA News) - “Hidup menjadi berarti kalau mampu meraih mimpi. Dari pelosok Sumatera Utara sana mimpi saya dulu bisa lihat Istana Presiden di Jakarta. Eh, gara-gara jadi wartawan, saya bukan cuma lihat dan masuk itu istana, tapi juga sekaligus pernah bersalamaman dengan tujuh Presiden Indonesia.”

Ucapan penuh optimisme itu menjadi salah satu petikan pengalaman H. Sofyan Lubis, tokoh pers nasional yang meninggal dunia, Minggu (2/9/2018), sekira pukul 16.00 WIB di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Pria yang lahir di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, pada 22 November 1941 itu dalam sejumlah kesempatannya berbincang dengan sejawatnya di Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) selalu tampak penuh antusiasme bila menceritakan dunia kewartawanan.

Ia selalu senang menceritakan sejumlah momen khusus bisa bersalamanan dan berbicara dengan Presiden Republik Indonesia, mulai Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo.

Oleh karena itu, dirinya bangga dengan sebutan wartawan tujuh zaman, alias tujuh zaman pemerintahan Presiden RI.

“Selain ingin lihat Istana Presiden, saya sejak kecil ingin keliling dunia. Eh, gara-gara jadi wartawan pula bisa berkeliling dunia. Bahkan, saya sering jalan-jalan tanpa modal,” ujarnya, dalam satu percakapan dengan sejumlah alumni International Institute of Journalism (IIJ), Berlin. Jerman.

Pak Sofyan, demikian kalangan pers nasional menyebutnya, selain sebutan Bung Sofyan atau Bang Sofyan, termasuk alumni IIJ Berlin pada musim panas 1972. Program pelatihan yang dijalaninya di Jerman itu merupakan beasiswa sepenuhnya dari Pemerintah Jerman Barat (kini Jerman).

“Jujur saja, saya tidak mahir berbahasa Inggris, apalagi Jerman, saat berangkat ke sana. Beruntung saya sekelas dengan Tribuana Said yang jago Bahasa Inggris dan asli anak Medan. Ke mana-mana selama di Jerman, saya banyak ikut Tri,” kata pria yang memulai karir jurnalistik di Jakarta pada 1962 itu.

Tribuana Said, sang karib Sofyan, adalah putra sulung pasangan Mohammad Said dan Ani Idrus yang keduanya mendirikan Harian Waspada di Kota Medan pada 1946. Baik Sofyan dan Tribuana semakin bersahabat saat aktif berkiprah di PWI Pusat.

Di PWI pula, selain di harian Pos Kota Jakarta, Sofyan mengakui cakrawalanya semakin terbuka luas. Bahkan, ia sempat memimpin organisasi profesi wartawan yang didirikan di Solo, Jawa Tengah, pada 9 Februari 1946 itu.

Sofyan Lubis bersama Parni Hadi berpasangan menjadi Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PWI periode 1993—1998.

“Bung Sofyan Lubis baik hati. Orang Batak yang santun dan muslim yang tawadhu,” kata Parni Hadi melalui pesan singkat kepada ANTARA News di Jakarta, Minggu.

Parni mengaku tidak pernah berselisih paham dengan Sofyan, meskipun masing-masing memiliki latar belakang yang berbeda antara satu sama lain.

“Kami tidak pernah bentrok walaupun latar belakang berbeda-beda,” ujar mantan Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) itu.

Sebaliknya, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998--2000 dan mantan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Harian Republika tersebut juga mengakui bahwa ibarat rel kereta api, mereka selalu berada dalam satu jalur rel yang sama.

Keduanya banyak menghadapi terpaan terkait kemerdekaan pers, apalagi saat Pemerintah RI melalui Menteri Penerangan Harmoko membatalkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) majalah berita Tempo dan Editor, serta tabloid Detik.

Sofyan pernah menyatakan posisi PWI, terutama dirinya dan Parni Hadi, sangat sulit saat Pemerintah RI membatalkan SIUPP tiga perusahaan pers itu pada 21 Juni 1994. Pasalnya, mereka berdua kenal dekat dengan Menteri Penerangan Harmoko, yang notabene juga mantan Ketua Umum PWI Pusat.

“Harus diakui PWI, apalagi saya dan Parni, banyak dapat tekanan dari sana-sini. Saat kejadian terjadi, saya masih di Amerika Serikat. Saya puji keteguhan hati Parni dan Tribuana, yang saat itu menjadi Sekjen dan Wakil Sekjen PWI Pusat,” ujar Sofyan, di sela-sela hari ulang tahun ke-30 Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS) di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta, 23 Juli 2018.

Ia banyak menuangkan perjalanan hidupnya dan sejumlah karib seprofesi dalam dunia jurnalisme melalui buku “Wartawan Hehehe...”, yang diluncurkan di Aula Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih Nomor 34, Jakarta, 4 Februari 2009.

Bagi tamu yang hadir kala itu agaknya sulit melupakan momen betapa kreatifnya sosok Sofyan Lubis. Ia muncul di panggung memakai baju dan celana olah raga sambil bersepeda, dan tiba-tiba di panggung acara meluncurkan setumpuk buku karyanya yang diikat tali panjang layaknya bermain layang-layang.

“Inilah benar-benar acara peluncuran buku. Benar-benar bukunya diluncurkan. Tak ada yang bisa protes ya?” ujarnya kala itu, dan sontak mengundang tawa.

Senyum dan tawa termasuk pembawaan aslinya. Lembaran bergambar khas harian Pos Kota yang populer dengan sosok kartun Doyok dan Otoy lahir di tangannya saat menjadi pemimpin redaksi.

Kemudian, judul buku “Wartawan Hehehe...” pun sempat direvisinya menjadi “Wartawan Matilah Kau!” (2012). Di buku itu pula ia mengungkap sejarah sebutan “wartawan bodrex” dengan gaya penulisan ala bertutur santai.

“Mereka disebut wartawan bodrex karena kalau mendatangi nara sumber sasarannya selalu beramai-ramai, seperti pasukan bodrex di iklan televisi tahun 1980-an. Mereka bukan obat pusing, tapi malah bikin pusing,” katanya kala itu, dan lagi-lagi mengundang tawa.

Anggota DPR/MPR (1993—2003) itu kembali menerbitkan buku “Pantun Asal2an Bang Sofyan” (2010) dan “Dalam Kemelut Pers Orde Baru” (2017). Dalam buku terakhirnya itulah, ia kembali mengungkap sejumlah pengalamanannya, termasuk masa sulit memimpin PWI Pusat.

Buku juga menjadi pengabdian di akhir usianya. Sofyan Lubis dalam beberapa tahun ini gemar membagikan kitab suci Al Quran ke berbagai daerah, terutama berbagai mushala dan masjid yang ditemui dalam perjalanan bermobil.

Penerima Bintang Mahaputra pada 14 Agustus 1998 dan alumni Kursus Reguler Angkatan (KRA) XXIV Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) 1991 itu pernah mengungkapkan bahwa berbagi kebahagiaan, sekalipun berbagi senyum adalah ibadah paling murah sekaligus berkah.

Senyum...senyum...senyum...” demikian catatan pendamping foto profil Sofyan Lubis, didampingi sang istri, dalam aplikasi komunikasi WhatsApp (WA) pribadi bernomor +628161862672.

Baca juga: Mantan Ketua PWI Sofyan Lubis meninggal dunia
Baca juga: Pantun Asal-asalan Sofyan Lubis
Baca juga: Sisi Humor Peliputan Wartawan Ala Sofyan Lubis
Baca juga: Wartawan Bodrex Sofyan Lubis

Pewarta: Priyambodo RH
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018