• Beranda
  • Berita
  • Wapres: Penilaian terhadap penceramah bisa atasi penyebaran paham radikalisme di masjid

Wapres: Penilaian terhadap penceramah bisa atasi penyebaran paham radikalisme di masjid

23 November 2018 16:51 WIB
Wapres: Penilaian terhadap penceramah bisa atasi penyebaran paham radikalisme di masjid
Wakil Presiden Jusuf Kalla memberikan pernyataan pers kepada wartawan di Istana Wakil Presiden Jakarta, Jumat (23/11/2018). (Fransiska Ninditya)

Islam itu berbeda dengan Katolik atau Kristen, yang imamnya itu ada tingkatan-tingkatannya. Kalau di Islam itu tidak ada, siapa saja yang sanggup jadi imam ya dia jadi imam. Siapa penceramah yang naik khotbah, ya dia khotbah...."

Jakarta (ANTARA News) - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan salah satu cara untuk mengatasi upaya penyebaran paham radikal di lingkungan masjid adalah dengan memberikan penilaian kepada para penceramah.

Penilaian terhadap penceramah tersebut dapat dibuat skemanya oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI), bersamaan dengan pembentukan kurikulum khotbah Jumat.

"DMI selalu (saya) minta dibuatkan kurikulum dan juga penilaian kepada penceramah. Kita tidak melarang penceramah, tetapi batasan-batasannya ya mereka harus taati," kata Wapres Jusuf Kalla kepada wartawan di Istana Wakil Presiden Jakarta, Jumat.

Khotbah atau ceramah di masjid menjadi sarana efektif untuk menggerakkan jemaah, oleh karena itu Wapres JK mengingatkan kepada para penceramah untuk memperhatikan akurasi sumber untuk konten ceramah tersebut.

Khususnya, lanjut JK, di tahun politik menjelang Pilpres 2019 banyak informasi beredar yang belum diketahui kebenarannya; sehingga penceramah masjid diharapkan dapat mencerahkan kondisi bangsa.

"Ya memang apalagi tahun politik sekarang ini membedakan antara mengkritik dan memberi saran itu kadang-kadang susah dibedakan. Orang mengkritik, padahal dia ngomong 'amar ma'ruf nahi munkar' dikira mengkritik Pemerintah, salah juga begitu kan," jelasnya.

Sementara itu, terkait usulan untuk memberikan sertifikasi kepada penceramah, Wapres mengatakan hal itu bukan menjadi kewajiban atau tugas Pemerintah, karena label ulama dan kyai muncul dari masyarakat.

"Islam itu berbeda dengan Katolik atau Kristen, yang imamnya itu ada tingkatan-tingkatannya. Kalau di Islam itu tidak ada, siapa saja yang sanggup jadi imam ya dia jadi imam. Siapa penceramah yang naik khotbah, ya dia khotbah. Yang menilai kyai itu ulama atau bukan ulama itu masyarakat, bukan Pemerintah," ujarnya.

Terkait adanya masjid terpapar paham radikal, Wapres mengatakan telah mengantongi daftar masjid tersebut dan telah membawa persoalan itu dalam rapat internal Dewan Masjid Indonesia (DMI).

Wapres, yang juga Ketua Umum DMI, telah membahas persoalan masjid terpapar radikalisme tersebut dan menemukan solusi bahwa pengendaliannya untuk saat ini ialah dengan melakukan pendekatan terhadap para penceramah di masjid.

Badan Intelijen Negara (BIN) telah mendapatkan laporan dari Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) NU bahwa berdasarkan survei ada 50 penceramah di 41 masjid lingkungan pemerintah terpapar radikalisme.

Survei tersebut mengungkapkan sedikitnya 41 dari 100 masjid milik kantor pemerintah terindikasi radikal yang disebarkan melalui setiap ceramahnya. Dari 41 masjid tersebut, 17 di antaranya masuk dalam kategori radikal tinggi, 17 lainnya radikal sedang dan tujuh masjid berkategori radikal rendah.

Baca juga: Wapres kantongi daftar masjid radikal dari BIN
Baca juga: MUI belum terima laporan penelitian 41 masjid radikal
Baca juga: Wapres: Jangan sampai masjid kampus dimasuki paham radikal
Baca juga: Risma minta takmir masjid tangkap paham radikal
Baca juga: Risma minta GP Ansor cegah masjid dimasuki kelompok radikal
Baca juga: Diduga sebarkan radikalisme, lima masjid ini dipantau FKUB

Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018