Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menyatakan, pengembangan industri ekstraktif di Tanah Air dinilai tidak akan menjamin tingkat kesejahteraan nelayan Nusantara yang melaut di berbagai daerah.Pemerintah perlu hadir dan mengatur tahapan hulu-hilir yang dilalui seorang awak kapal ikan dalam bekerja
"Orientasi kebijakan Jokowi-JK yang bergantung kepada industri ekstraktif seperti tambang dan reklamasi tidak akan pernah mampu menjamin kesejahteraan nelayan dan perempuan nelayan, apalagi kedaulatan kita sebagai bangsa bahari," kata Sekjen Kiara Susan Herawati di Jakarta, Minggu.
Ia memaparkan, Pusat Data dan Informasi Kiara mencatat bahwa sepanjang tahun 2019 terjadi peningkatan jumlah proyek properti, ekstraktif, dan pariwisata di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki kecenderungan merampas ruang hidup masyarakat bahari Indonesia.
Pada tahun 2019, masih menurut dia, proyek reklamasi meningkat menjadi 40 wilayah. Proyek tambang pesisir serta pulau-pulau kecil juga bertambah menjadi 26 lokasi, setelah sebelumnya hanya ada di 21 lokasi.
Susan mengingatkan bahwa sekitar 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional adalah mereka yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan.
Baca juga: Kebijakan investasi perikanan perlu orientasikan kesejahteraan nelayan
Baca juga: Pengamat: Menteri berikut harus lebih berdayakan masyarakat kecil
"Seluruh proyek ini mengabaikan hak-hak masyarakat pesisir yang telah dimandatkan oleh konstitusi sebagaimana tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010. Sebaliknya, berbagai proyek itu menjauhkan mereka dari sumber daya pesisir dan perikanan yang merupakan ruang hidup mereka," ujarnya.
Sebelumnya, Pemerintah diminta dapat mengeluarkan kebijakan yang benar-benar bisa mengatasi potensi terjadinya praktik kerja paksa perikanan yang bisa dialami oleh sejumlah pihak terkait seperti awak kapal ikan yang bekerja secara tidak manusiawi.
"Pemerintah perlu hadir dan mengatur tahapan hulu-hilir yang dilalui seorang awak kapal ikan dalam bekerja yaitu dari proses rekrutmen, penempatan dan pengawasan serta pasca bekerja," kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan.
Menurut Abdi Suhufan, dari ketiga tahapan yang telah disebut tersebut, ke semuanya rawan terjadinya praktik kerja paksa atau perdagangan orang yang menimpa dan merugikan awak kapal ikan.
Ia memaparkan, beberapa bentuk penipuan yang sering dialami oleh awak kapal ikan antara lain adalah gaji yang tidak sesuai, penipuan kontrak kerja dan kekerasan fisik dan mental.
Baca juga: Berdayakan anggaran kelautan perikanan guna fokus sejahterakan nelayan
Baca juga: KKP lesatkan kesejahteraan nelayan perbatasan dengan akses permodalan
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perhubungan telah bersinergi dalam rangka meningkatkan perlindungan dan kompetensi dari awak kapal penangkapan ikan.
"Ini harus kita perhatikan, agar awak kapal penangkapan ikan bisa terhindar dari D3 (dirty, dangerous, difficult), diharapkan ke depannya menjadi C3 (clean, clear, competent)," kata Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan dalam acara Peluncuran Peraturan Presiden No 18/2019 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Awak Kapal Penangkapan Ikan di Sekolah Tinggi Perikanan (STP) Jakarta, Rabu (2/10).
Menurut Luhut, peningkatan kompetensi serta sekaligus melindungi awak kapal penangkapan ikan merupakan hal yang penting guna menyelaraskan upaya pemerintah yang ingin membuat industri perikanan sebagai salah satu soko guru perekonomian nasional.
Menko Maritim juga menegaskan agar berbagai pilar perlindungan perlu dilengkapi dengan penguatan regulasi, seperti diberlakukannya Perpres No 18/2019 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Standar Pelatihan, Sertifikasi dan Dinas Jaga bagi Awak Kapal Penangkapan Ikan.
Baca juga: Legislator inginkan anggaran KKP penuhi kebutuhan nelayan
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019