Dia salah satu dari 51 orang nelayan asal Provinsi Aceh yang dibui akibat melanggar batas teritorial. Mereka dijatuhkan hukuman penjara oleh otoritas Thailand karena menangkap ikan di wilayah negara itu.
“Yang sangat sedih, sangat stres selama disana, kami enggak tahu anak istri kami makan apa di rumah,” kata Hermanto, di sela-sela penyambutan kepulangan nelayan tersebut di Anjong Mon Mata, Pendopo Gubernur Aceh, Banda Aceh, awal pekan.
Ia warga Desa Meurano, Kecamatan Pereulak Kota, Kabupaten Aceh Timur. Bekerja sebagai anak buah kapal KM Tuah Sulthan. Musibah penangkapan kapal motor mereka di negeri gajah putih itu membuat dirinya sadar bahwa itu adalah cobaan baginya.
Hermanto bersyukur bisa kembali pulang ke Tanah Rencong dalam keadaan selamat, sehingga ia bisa melepas rindu dengan istri dan dua anaknya yang telah lama ditinggal. Bahkan, dua kali lebaran tanpa dirinya; Idul Fitri dan Idul Adha 1441 Hijriah.
Ia berharap peristiwa yang mereka alami tidak terulang kembali dirasakan nelayan Aceh lainnya. Berada di negara orang dengan status tahanan sangat tidak mengenakkan, meskipun diperlakukan baik.
“Jangankan kami (orang luar negeri), orang itu (asli Thailand) sendiri untuk jumpa keluarga saja enggak bisa, kalau disiplin penjara Thailand boleh kita akui, disiplin orang itu. Enggak ada komunikasi sama sekali (dengan keluarga di kampung),” ujarnya.
Perhatikan, jangan sampai melewati perairan orang lain karena sebenarnya di perairan kita ada ikan, cuma namanya ingin mencari lebih, dibalik cari kelebihan itu ternyata bencana bagi kami, kata Hermanto, mengingatkan.
Pengalaman yang sama juga disampaikan Zukifli, 30 tahun, warga Desa Kuta Binjai Kecamatan Julok, Aceh Timur. Saat ditangkap, ia satu kapal dengan Hermanto. Selama ditahan, mereka hanya diberi makan pagi dan sore. Meski tidak dipukul, tapi kadang-kadang mendapat hukuman, squat jump salah satunya.
“Keadaan kami di sana dalam air mata selalu. Hari raya dalam air mata, makan dalam air mata. Kerja sehari-hari minum untuk (pengganti) makanan. Dalam keadaan itu kami hanya bisa berdoa agar bisa segera pulang ke Aceh,” ujarnya.
Seperti diketahui, 51 nelayan tersebut ditangkap dalam dua gelombang, karena melakukan penangkapan ikan di perairan Thailand. Penangkapan pertama pada Januari 2020, yakni sebanyak 30 nelayan dewasa dan tiga orang anak-anak.
Kemudian, penangkapan kedua terjadi pada Maret 2020, diantaranya 21 nelayan dewasa dan tiga orang anak-anak. Namun, untuk enam WNI nelayan di bawah umur itu telah direpatriasi pada 16 Juli 2020.
Baca juga: Panglima Laot Aceh sebut masih ada 51 nelayan Aceh di luar negeri
ICSF apresiasi Kemenlu
International Colective of Fish Worker (ICSF) Perwakilan Indonesia mengapresiasi cara kerja cerdas yang ditunjukkan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Republik Indonesia dalam upaya membebaskan 51 nelayan asal Aceh di Thailand.
"Pelepasan 51 nelayan yang diupayakan oleh Kemenlu RI harus diberikan apresiasi karena dilakukan melalui celah hukum di Thailand dengan meminta pengampunan tepat pada hari ulang tahun raja Thailand," kata Anggota ICSF Indonesia M Adli Abdullah.
Selama ini, 51 nelayan itu ditahan di penjara Phang Ngah, Selatan Thailand. Namun, Raja Thailand YM Rama X ulang tahun ke 68 pada 28 Juli 2020 lalu, dan memberikan pengampunan terhadap 51 nelayan itu sebagai terpidana penangkapan ikan ilegal di wilayah teritorial dan ZEE Thailand.
Hal ini memang diatur dalam konstitusi kerajaan Thailand pada pasal 221 dan 225 UUD Thailand dan Pasal 259 hingga 267 KUHP Thailand (BE 2548). Apabila Kemenlu RI tidak menggunakan jalur diplomatik maka mustahil 51 nelayan itu dapat menghirup udara bebas, katanya.
Baca juga: 51 nelayan Aceh dari Thailand tiba di Tanah Rencong
Nelayan butuh pembinaan
Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Aceh menilai bahwa nelayan tradisional Aceh masih sangat kurang mendapatkan pembinaan, sekaligus sosialisasi tentang regulasi dan batas wilayah Indonesia dengan negara tetangga.
Kemudian, pemerintah juga diminta untuk memberi bantuan alat pendukung bagi nelayan seperti alat pelacak ikan, navigasi, dan lainnya, agar kejadian itu tidak terulang lagi.
Ia menilai persoalan melewati batas negara itu disebabkan karena nelayan hanya ingin mencari ikan lebih. Menurutnya, ikan di wilayah pantai Timur Aceh sudah begitu kurang, sehingga nelayan harus mencari dengan jarak mulai 60-100 mil dari bibir pantai.
“Jadi wilayah banyak ikan itu wilayah yang dekat dengan negara orang lain. Disini lah karena lezat dan enaknya mencari banyak ikan, maka mereka lupa bahwa mereka telah melewati batas. Itu dampak dari kejadian ini, karena di perairan kita wilayah Timur ini ikannya enggak bagus lagi,” ujarnya.
Maka ke depan ini yang paling penting adalah memberikan pembinaan dan sosialisasi kepada nelayan tradisional kita ini. Pembinaan mulai menangkap ikan dengan selektif, menjaga ekosistem laut dan juga menjaga wilayah, ujar Azwar lagi.
Sementara itu, Kepala Dinas Keluatan dan Perikanan (DKP) Aceh Ilyas mengatakan selama ini pihaknya selalu memberikan sosialisasi kepada nelayan Aceh. Bahkan, kata dia, pada umumnya kapal motor nelayan tersebut juga telah dilengkapi GPS, navigasi dan alat pendukung lainnya.
Tugas DKP, lanjut Ilyas, melakukan pembinaan para nelayan Aceh agar saat melaut tetap mematuhi peraturan dan batas wilayah antar negara.
“Kita hari ini tidak menyalahkan nelayan, tapi yang jelas hari ini di laut lepas ini ikannya banyak, itu harus kita akui, dimana ikan yang banyak, pasti ke situ. Harapan kita, kita tidak jenuh mensosialisasi dan pembinaan kepada nelayan kita,” ujarnya.
Baca juga: Negatif COVID-19, Sebanyak 51 nelayan Aceh segera dipulangkan
Bantuan bagi nelayan
Sekretaris Komisi V DPR Aceh Iskandar Al Farlaky menyebutkan, selain penting memberi pembinaan bagi nelayan, pemerintah juga harus memperhatikan nelayan sekaligus keluarganya yang ditinggalkan karena tertangkap saat melaut.
“Apabila terjadi kasus nelayan Aceh ditahan akibat melewati batas wilayah Indonesia, pemerintah baik melalui Baitul Mal atau lembaga lain untuk bisa memberikan santunan terhadap keluarga yang ditinggalkan,” kata Iskandar.
Menurutnya, nelayan Aceh yang melaut adalah tulang punggung keluarga. Ketika mereka meninggalkan anak dan istri untuk mencari rezeki di laut dan tertangkap, maka tentu mata pencaharian keluarga akan lumpuh total.
“Mereka (istri) harus bekerja serabutan. Maka oleh karena itu Baitul Mal atau zakat dan infaq bisa dialokasikan kepada rakyat Aceh yang suaminya ditahan di negara tetangga saat mencari ikan,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga diminta harus memperhatikan nelayan Aceh yang ditangkap secara berkelanjutan. Pemerintah tidak hanya melihat proses pemulangan mereka ke Tanah Air, tetapi juga pendampingan bagi mereka untuk melanjutkan hidup.
Misalnya, seperti 51 nelayan ini, kata Iskandar, mereka sudah sekitar sembilan bulan dibui otoritas Thailand, namun kapal motor yang selama ini digunakan untuk mencari ikan itu tidak dikembalikan, meskipun sudah pembebasan.
“Maka mereka butuh proses perenungan kembali untuk mencari mata pencaharian lagi,” katanya.
Baca juga: Kapal diterjang badai, dua nelayan Aceh Barat hilang di laut
Masih di luar negeri
Wakil Sekjend Panglima Laot Aceh Miftach Cut Adek menyatakan bahwa masih terdapat 51 nelayan asal Aceh yang menjalani masa tahanan di luar negeri, selain 51 nelayan dari Thailand yang baru tiba di daerah Tanah Rencong, Selasa (6/10) lalu.
"Dari 51 lagi nelayan Aceh yang masih di luar negeri itu yakni 50 orang di India dan satu orang lagi di Myanmar,” kata Miftach.
Ia menjelaskan, dari 51 nelayan yang masih di India dan Myanmar itu, beberapa diantaranya sedang menjalani masa hukuman. Ada juga yang sedang menunggu keputusan sidang.
Satu nelayan di Myanmar ditangkap pada 2018, yang dihukum tujuh tahun penjara. Sedangkan 50 orang lainnya ditangkap pada 2019 di India, yakni tiga orang sedang menjalani hukuman dua tahun penjara, sementara 47 lainnya masih dalam proses persidangan.
“Semua mereka ditangkap dengan kasus yang sama, yaitu melanggar batas teritorial laut negara tetangga. Mereka berasal dari Aceh Besar, Aceh Timur dan Aceh Barat Daya,” katanya.*
Baca juga: 51 nelayan Aceh direncanakan pulang 1 Oktober dari Thailand
Pewarta: Khalis Surry
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020