Kalau sudah memiliki sertifikat kompetensi berarti dia sudah tahu dengan apa yang dia kerjakan
Selama ini, banyak lulusan yang belum mengerti benar mengenai pentingnya sertifikat kompetensi. Begitu juga dengan perguruan tinggi vokasi (PTV) yang mana sebagian besar Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) 1 bersifat okupasi dan klaster.
Sertifikasi kompetensi tersebut hanya berlaku terbatas wilayah penggunaannya. Padahal sertifikat kompetensi itu merupakan modal lulusan untuk memasuki dunia kerja.
"Sertifikat kompetensi merupakan dokumen pendamping selain ijazah. Setiap lulusan vokasi memiliki sertifikat kompetensi sebagai modalnya untuk memasuki dunia kerja," ujar Direktur Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha Dunia Industri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Ahmad Saufi di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Namun, terkadang pihak industri kurang mengakui meski lulusan tersebut sudah memiliki sertifikat kompetensi sebagai suatu keahlian yang dikuasainya. Hal itu bisa terjadi karena kepercayaan maupun perbedaan standar kompetensi yang ditetapkan pihak industri.
"Selama ini, LSP 1 yang ada di PTV masih banyak yang bersifat okupasi dan klaster, serta belum bersifat nasional yang mengacu pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia atau KKNI level lima atau enam, atau setara dengan diploma tiga dan diploma empat," terang dia.
Melihat adanya gap tersebut, Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbud perlu membuat keselarasan antara PTV atau pendidikan vokasi dengan dunia usaha dan dunia industri.
Direktorat Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri memberikan hibah pada 10 PTV, melalui Program Pengembangan Penilaian Mutu Perguruan Tinggi Vokasi Berstandar Industri.
Sebanyak 10 PTV pengampu diberi tugas berkoordinasi dengan industri, dunia usaha, dan dunia kerja (Iduka), asosiasi profesi, BNSP, dan PTV lain dengan program studi sejenis untuk duduk bersama, menyusun serta menyepakati skema sertifikasi nasional sesuai KKNI level 5 dan 6.
Setelah skema tersusun, dilanjutkan penyusunan materi uji kompetensi (MUK) serta membuat petunjuk teknis tempat uji kompetensi (TUK) berstandar industri.
"Saat ini sudah pada fase akhir, ada dua fase yakni penyusun MUK dan petunjuk teknis tempat uji kompetensi," kata mantan Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Berlin itu.
Penyusunan skema sertifikasi kompetensi tersebut menguntungkan semua pihak terlibat, mulai dari lulusan, perguruan tinggi, industri, hingga pemerintah. Penyusunan skema sertifikasi juga dapat mewujudkan ekosistem saling percaya.
Kerja bersama seperti itu, akan semakin menguatkan “pernikahan massal” antara penyedia dan pengguna lulusan PTV.
"Dengan adanya sertifikasi kompetensi, lulusan PTV lebih percaya diri, PTV dan industri juga merasakan hal yang sama yakni adanya jaminan kualitas," kata dia.
Baca juga: Kemendikbud : Sertifikat kompetensi modal lulusan masuki dunia kerja
Hal itu dikarenakan sertifikasi kompetensi disusun sedemikian rupa dengan melibatkan semua pihak terkait dan menenuhi kriteria Iduka.
"Pengguna lulusan yakni Iduka pun mendapatkan jaminan mutu akan lulusan. Pemerintah sebagai regulator juga senang, karena memang begini seharusnya sekolah tersebut," terang dia.
Untuk tahap awal, Kemendikbud menargetkan setidaknya 150 skema sertifikasi kompetensi berstandar nasional yang tersusun pada 2020, atau dengan kata lain masing-masing PTV pengampu diberi tugas menyusun minimal 15 skema beserta MUK dan TUK yang berstandar industri.
Ke depan, pihaknya akan menyusun lebih banyak lagi skema sertifikasi kompetensi berstandar nasional.
“Pada tahun ini, kami menargetkan baru 150 skema sertifikasi kompetensi berstandar nasional, tapi dari informasi teman-teman PTV pengampu bahkan ada yang berhasil menyusun lebih dari ditargetkan semula. Ke depan, kita akan tambah penyusunan skema sertifikasi kompetensi agar semakin banyak lagi bidang yang terselesaikan,” katanya.
Ke depan, penyusunan sertifikasi kompetensi tidak hanya pada tingkat nasional tetapi juga internasional. Selama ini, tenaga terampil Indonesia masih menerima upah lebih rendah dari tenaga kerja berasal dari negara lain. Padahal kemampuannya sama. Hal itu dikarenakan tenaga kerja Indonesia tidak memiliki sertifikasi kompetensi dan lemahnya kemampuan berbahasa asing.
Daya Saing
Pemerhati ketenagakerjaan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nawawi mengatakan sertifikasi kompetensi syarat utama agar dapat menciptakan tenaga kerja Indonesia yang memiliki daya saing global. Korea dan Jepang misalnya, sudah membuka visa tenaga kerja untuk keahlian dasar yang mana bisa diisi oleh tenaga kerja Indonesia. Tenaga kerja yang sudah memiliki sertifikasi bisa mengikuti program itu.
Sertifikasi kompetensi merupakan standar kompetensi bagi lulusan, baik PTV maupun sekolah vokasi, agar bisa diterima di dunia kerja.
“Kalau dulu tidak ada standarnya, namun dengan adanya sertifikasi kompetensi tersebut dapat menjadi standar bagi kompetensi lulusan kita, sehingga Iduka dapat menerima, " jelas dia.
Sertifikasi kompetensi merupakan hal yang lazim dilakukan untuk sekolah maupun PTV.
Sertifikasi kompetensi tersebut, lanjut dia, hendaknya juga tidak hanya tingkat nasional tetapi juga ke depannya dapat berlaku untuk tingkat internasional, misalnya dimulai dari tingkat Asia Tenggara.
Apalagi, sudah ada kerja sama untuk tingkat Asia Tenggara melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dengan sertifikasi kompetensi tersebut, tenaga kerja Indonesia dapat memiliki daya saing global.
Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah program studi pendidikan vokasi, baik sekolah vokasi maupun PTV tersebut harus sesuai dengan kebutuhan Iduka agar lulusannya dapat terserap dengan baik.
"Sebaiknya kompetensinya diarahkan sesuai dengan kebutuhan revolusi industri 4.0. Saya yakin Kemendikbud, apalagi dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi yang baru sudah ada program ke arah sana, program prioritas untuk revitalisasi SMK maupun PTV," saran Nawawi.
Baca juga: Pemerhati: Sertifikasi kompetensi syarat tenaga kerja berdaya saing
Perwakilan Iduka dari PT KM Mandiri, Nursyamsu, mengatakan pihaknya lebih percaya dengan lulusan PTV yang memiliki sertifikat kompetensi.
"Kalau sudah memiliki sertifikat kompetensi berarti dia sudah tahu dengan apa yang dia kerjakan. Kami lebih percaya dengan kemampuan lulusan yang memiliki sertifikat kompetensi," katanya.
Selain pengalaman kerja, sertifikat kompetensi menjadi pertimbangan utama dalam merekrut pegawai di perusahaannya.
Oleh karena itu, pihaknya mendukung skema sertifikasi nasional. Kebetulan, pihaknya turut memberikan masukan kepada penyusunan skema sertifikasi kompetensi nasional bidang konstruksi di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ).
Pihaknya menyambut baik dilibatkan dunia industri dalam penyusunan skema tersebut. Para praktisi di industri dapat memberikan masukan mengenai apa yang diperlukan dalam penyusunan skema tersebut.
"Personal branding"
Anggota Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BSNP) Tetty Desiarty Soemarso mengatakan sertifikasi kompetensi sangat penting bagi "personal branding" kemampuan lulusan PTV.
"Sertifikasi kompetensi itu dibutuhkan karena itu merupakan 'personal branding' lulusan perguruan tinggi itu. Kalau ijazah, itu normatif untuk mengetahui yang bersangkutan sudah lulus mata kuliah apa saja. Sementara sertifikasi kompetensi itu menunjukkan kemampuan apa yang dimilikinya," ujarnya.
Sertifikasi kompetensi juga memudahkan dunia industri merekrut karyawan. Hal itu karena industri tidak perlu mengeluarkan anggaran besar untuk melatih calon pegawai agar memiliki kompetensi tertentu.
Oleh karena itu, pihaknya mendorong agar PTV tidak hanya memberikan ijazah kepada lulusannya, tetapi juga sertifikat kompetensi.
Baca juga: Industri sebut lebih percaya lulusan miliki sertifikat kompetensi
Saat ini, belum semua PTV melakukan sertifikasi pada lulusannya. Kendala utamanya sumber daya manusia di PTV. Untuk itu, pihaknya mendorong kolaborasi antara PTV bersama dengan asosiasi profesi maupun industri dan dunia kerja.
Sertifikasi kompetensi tersebut, juga menunjukkan bagaimana upaya perguruan tinggi dalam perbaikan kurikulum, metode pembelajarannya, hingga laboratorium yang sesuai standar atau tidak.
Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi PNJ Asrizal Tatang mengatakan sertifikasi kompetensi diperlukan tidak hanya untuk mahasiswa, tetapi juga mengawal mutu PTV.
"Adanya sertifikasi kompetensi ini tidak hanya bermanfaat untuk mahasiswa tapi juga kampus, terutama untuk mengawal mutu, karena kita mengikuti standar kompetensi yang dibutuhkan dan dikembangkan dunia kerja dan industri," katanya.
Setiap kampus ada satuan mutu internal yang mengawasi mutu kampus. Untuk eksternal dilakukan BNSP yang dalam hal ini diwakili LSP. Melalui sertifikasi kompetensi tersebut, diketahui bagaimana kurikulum kampus, kompetensi dosen, sarana dan prasarana, dan lainnya, sehingga mutu pendidikan PTV tidak hanya disiapkan kampus tetapi juga industri.
Bagi mahasiswa, sertifikasi kompetensi dan juga ijazah sebagai haknya. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
"Sertifikasi kompetensi ini merupakan langkah awal lulusan PTV untuk masuk ke dunia kerja. Mayoritas lulusan PTV berkualitas tidak lagi ditanya kompetensi karena sudah memiliki sertifikasi kompetensi. Jadi yang diuji hanya potensi saat seleksi masuk kerja," katanya.
Sertifikasi kompetensi tersebut merupakan saringan terhadap tenaga kerja asing. UU menyebutkan siapa pun bisa memperoleh pekerjaan asalkan memiliki sertifikasi kompetensi.
Baca juga: Tenaga kerja konstruksi wajib miliki sertifikat kompetensi kerja
Baca juga: Dirjen : lulusan pendidikan kesetaraan dapat sertifikat kompetensi
Baca juga: Pendidikan vokasi diperbanyak dukung penciptaan wirausaha muda
Baca juga: Pelatihan vokasi tingkatkan kompetensi tenaga kerja, sebut Menaker
Pewarta: Indriani
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2020