"Kami warga menolak pembangunan IPAL karena di situ banyak terdapat situs sejarah yang dibuktikan dengan makam kuno," kata Ketua Forum Masyarakat Penyelamat Situs Sejarah Gampong Pande (Formasigapa) Ahmad Nawawi, di Banda Aceh, Selasa.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Banda Aceh kembali melanjutkan pembangunan proyek IPAL di Gampong Pande kota setempat yang sempat terhenti karena banyak ditemukan situs bersejarah seperti nisan makam raja dan ulama Aceh.
Rencana pemerintah tersebut menuai kritikan serta penolakan dari berbagai kalangan masyarakat Aceh, terutama masyarakat, budayawan, keturunan raja-raja Aceh hingga anggota legislatif setempat.
Baca juga: Pemerhati surati Menteri PUPR terkait proyek IPAL di situs sejarah
Nawawi mengatakan, masyarakat secara resmi melalui Formasigapa juga telah menyurati Menteri PUPR RI c/q Direktur Jenderal Cipta Karya dengan nomor 001/GP-F/III/2021 tentang penolakan dan pemberhentian pembangunan IPAL di lokasi bersejarah tersebut.
Nawawi menyampaikan, melalui surat tersebut mereka menjelaskan beberapa poin dan alasan penolakan kelanjutan pembangunan IPAL tersebut. Diantaranya karena kawasan itu merupakan kota tua yang terbenam sejarah masa lalu. Terbukti setelah adanya benda-benda bersejarah yang muncul pasca tsunami Aceh.
"Di areal pembangunan tersebut juga sudah ditemukan makam kuno sehingga memancing kericuhan masyarakat Aceh untuk menghentikan pembangunan dan menyelamatkan temuan nisan berusia ratusan tahun itu," ujarnya.
Kemudian, lanjut Nawawi, pada November 2017 lalu, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf setelah meninjau lokasi juga mendukung penghentian dan meminta untuk memindahkan lokasi bangunan IPAL tersebut.
Pembangunan IPAL dinilai dapat merusak dan menghilangkan jejak-jejak peradaban islam, serta hilangnya identitas sejarah Aceh, karena lokasi tersebut merupakan titik nol Kota Banda Aceh, dan banyaknya para ulama serta bangsawan Aceh masa lalu.
Baca juga: KLHK bangun IPAL Komunal di Kota Batu perbaiki kualitas lingkungan
"Bahwa berdasarkan penemuan masyarakat, di tempat tersebut masih banyak ditemukan situs-situs bersejarah dan makam-makam kuno," kata Nawawi.
Menurut Nawawi, penghilangan situs sejarah merupakan salah satu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana diatur pada pasal 6 ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Di mana perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan, dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah.
Karena itu, lanjut Nawawi, pihaknya meminta Menteri PUPR khususnya Direktur Jenderal Cipta Karya untuk dapat menghentikan pembangunan IPAL tersebut dan mengalihkannya ke lokasi lain agar tidak menimbulkan kericuhan dan kegaduhan dalam masyarakat.
"Kami juga tegaskan bahwa kami bukan menolak pembangunan IPAL, tetapi lokasi pembangunannya yang kami tolak karena di sana banyak ditemukan situs sejarah," demikian Nawawi.
Sementara itu, Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman menyatakan komitmennya untuk melestarikan situs sejarah dan cagar budaya yang ada di Banda Aceh.
Aminullah menjelaskan, pembangunan IPAL itu sudah dilakukan sejak 2015 dan pelaksanaannya 2016 sebelum dirinya menjabat wali kota, dan mungkin sudah dilakukan kajian sebelumnya.
“Dalam hal ini kita hanya melanjutkan saja proyek ini, dengan sudah melakukan survei yang melibatkan semua elemen dari pemerintahan, para warga, Tim Arkeologi, TACB (Tim Ahli Cagar Budaya), BPCB (Badan Pelestarian Cagar Budaya) Aceh,” kata Aminullah Usman, Senin (15/3).
Untuk diketahui, Pemerintah Kota Banda Aceh pada 2017 lalu menghentikan sementara pembangunan IPAL yang berada di Gampong Pande Kecamatan Kutaraja Banda Aceh tersebut.
Penghentian itu terpaksa lakukan karena banyak penemuan situs sejarah seperti batu nisan yang diduga milik para raja-raja masa kerajaan Aceh. Namun, kini kembali dilanjutkan.
Baca juga: Dirjen cipta karya sebut proyek IPAL Palembang sasar 100.000 jiwa
Baca juga: Warga Rawa Badak Selatan Koja segera miliki IPAL Komunal
Pewarta: Rahmat Fajri
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021