• Beranda
  • Berita
  • Kepala BKKBN nilai pemahaman stunting di masyarakat masih rendah

Kepala BKKBN nilai pemahaman stunting di masyarakat masih rendah

18 Oktober 2022 21:02 WIB
Kepala BKKBN nilai pemahaman stunting di masyarakat masih rendah
Tangkapan layar Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam Sosialisasi Indeks Pembangunan Keluarga di Jakarta, Selasa (18/10/2022). ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti

banyak yang belum tahu tentang stunting itu seperti apa sebetulnya

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menilai bahwa pemahaman tentang stunting di masyarakat masih rendah sehingga membutuhkan waktu dan upaya untuk mengubah pola pikir masyarakat.

“Saya menilai tentang pemahaman stunting, masih jauh. Jangankan masyarakat biasa, bupati atau wali kota saja banyak yang belum tahu tentang stunting itu seperti apa sebetulnya,” kata Hasto yang hadir secara virtual dalam diskusi media tentang stunting di Jakarta pada Selasa.

Hasto mengingatkan bahwa stunting tidak sama dengan stunded atau anak pendek, walaupun anak dengan stunting selalu memiliki perawakan pendek. Dengan demikian, anak bertubuh pendek belum tentu mengalami stunting.

“Pendek itu kan belum stunting. Karena the real stunting itu kan paling tidak, ada tiga gangguan,” katanya.

Pertama, anak tersebut memang pendek. Kedua, mengalami gangguan perkembangan sehingga kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Ketiga, memiliki prognosis yang kurang baik terkait kondisi kesehatan misalnya berisiko mengalami penyakit kardiovaksular atau penyakit metabolik lain di hari tuanya.

Baca juga: BKKBN: Audit kasus stunting bermanfaat untuk tekan kemiskinan ekstem
Baca juga: Anggota DPR minta pemerintah tambah anggaran penurunan stunting

Hasto mengatakan terdapat banyak faktor terkait stunting yang harus dikendalikan secara komprehensif. Menurut dia, sebanyak 70 persen potensi terjadinya stunting merupakan faktor jauh yang terkait sejauh mana pemahaman tentang gizi seimbang, pentingnya air bersih dan sanitasi, hingga imunisasi. Sementara sisanya, 30 persen, merupakan faktor dekat seperti ibu hamil dengan anemia.

Dia mengandaikan pemahaman mengenai stunting mirip seperti sosialisasi Keluarga Berencana (KB) pada tahun 1970-an yang membutuhkan upaya lebih banyak untuk mengubah pola pikir masyarakat.

“Samalah ini kita harus banyak tertatih-tatih, terutama harus memahamkan dulu stunting itu apa, bagaimana cara mencegah stunting, kemudian sampai akhirnya kita harus menjelaskan tentang hal-hal yang sifatnya teknis. Butuh waktu yang panjang,” katanya.

Dia juga mengatakan bahwa pemahaman tentang stunting dapat dikatakan masih relatif baru mengingat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan standar terkait stunting pada 2007.

Baca juga: DPR: Penurunan stunting bisa tercapai jika ada kemandirian keluarga
Baca juga: Pakar: Posyandu terintegrasi percepat pengendalian stunting

Hasto mengatakan WHO memberikan semacam toleransi apabila angka stunting suatu negara di bawah 20 persen maka sudah dianggap baik. Namun Presiden Joko Widodo pun memberikan target yang jauh lebih rendah, yaitu penurunan stunting hingga 14 persen pada 2024.

Menurut dia, Peraturan Presiden tentang Percepatan Penurunan Stunting sebetulnya sudah diperjuangkan sejak lama namun baru tercapai pada Agustus tahun lalu. Kemudian, Rencana Aksi Nasional (RAN) terkait stunting juga baru dikeluarkan pada awal tahun ini dengan program yang masih dijalankan hingga saat ini.

“Saya memahami betul ini seperti zaman tahun 1973 (terkait program KB) yang menyosialisasikan dan mengubah mindset ‘banyak anak banyak rezeki’ menjadi ‘dua anak cukup’,” ujar Hasto.

Baca juga: Vokasi UI edukasi cegah stunting dengan pantau pertumbuhan anak

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022