"Kebijakan kuota 20 persen untuk calon siswa yang menggunakan SKTM ini membuat banyak orang tua siswa mendadak miskin," katanya di Purwakarta, Rabu.?
Orang tua calon siswa berbondong-bondong ke kantor desa atau kantor kelurahan setempat untuk mendapatkan SKTM pada musim penerimaan penerimaan siswa baru tahun ini.?
Kenapa dikatakan salah kaprah, karena hakikatnya pendidikan tidak mengenal masyarakat dari golongan kaya atau kaum miskin.
"Saya hanya memahami pendidikan itu untuk seluruh rakyat, tidak peduli kaya miskin. Semua orang harus sekolah, karena judulnya `wajib`. Karena wajib, maka tugas pemerintah wajib mempersiapkan berbagai fasilitas pendidikan," jelasnya.
Dedi mengajak semua pihak untuk tidak menggunakan terminologi kaya atau miskin dalam dunia pendidikan.
Istilah tersebut hanya pantas digunakan oleh stakeholder kependudukan dan sosial. Itu pun dalam rangka pengentasan kemiskinan, bukan bidang pendidikan.
Indikator kemiskinan itu kan bukan SKTM. Dinas Kependudukan dan Dinas Sosial itu memiliki indikator itu. Ada standarnya untuk pengentasan kemiskinan. Kalau untuk mendapatkan pendidikan tidak perlu ada SKTM, terangnya.
Baca juga: Siswa tidak mampu di Jawa Barat gratis biaya sekolah swasta
Baca juga: Pemerhati : PPDB zonasi tingkatkan angka partisipasi murni
Baca juga: Ada 700 aduan PPDB diterima Disdik Kota Bandung
Baca juga: Ketua DPR usulkan cari solusi sistem zonasi
Baca juga: KPAI dorong evaluasi kebijakan penerimaan murid 2018
(KR-MAK/H014)
Pewarta: M.Ali Khumaini
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018