Pemerintahan yang akan dipimpin oleh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin memiliki pekerjaan rumah untuk menekan angka beban penyakit di Indonesia dan pembenahan serta penyelamatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan...pemerintah harus menyelamatkan program Jaminan Kesehatan Nasional yang telah memberikan banyak sekali manfaat pada masyarakat..
Pemerintahan Presiden Jokowi periode pertama bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla menunjukkan hasil yang lumayan memuaskan dilihat dari peningkatan status gizi masyarakat, penyediaan fasilitas kesehatan di daerah, dan akses layanan kesehatan secara gratis serta murah melalui program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.
Dari sisi status gizi masyarakat, hasil yang paling terlihat adalah prevalensi anak kerdil atau stunting di Indonesia yang menurun hampir 10 persen dalam lima tahun. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan tahun 2013 angka stunting mencapai 37,2 persen.
Angka tersebut sangat tinggi dibandingkan dengan standar maksimal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan maksimal angka stunting 20 persen di suatu negara. Dengan prevalensi 37,2 persen itu, Indonesia sejajar dengan Ethiopia dalam hal gizi masyarakatnya.
Prevalensi stunting berhasil ditekan menjadi 30,8 persen pada Riskesdas 2018. Menteri Kesehatan Nila Moeloek di pemerintahan Jokowi-JK melakukan intervensi beberapa program untuk menurunkan angka kerdil.
Baca juga: Prevalensi balita dengan gizi kurang dan anak kurus menurun
Baca juga: Menkes umumkan angka stunting turun jadi 27,67 persen
Beberapa di antaranya adalah pemberian makanan tambahan (PMT) berupa biskuit tinggi gizi bagi ibu hamil dan balita, yang sebelumnya PMT hanya digunakan dalam keadaan darurat seperti situasi bencana alam.
Intervensi lainnya ialah dengan memberikan tablet tambah darah bagi ibu hamil dan remaja yang rentan mengalami anemia. Remaja putri dan ibu hamil yang anemia memiliki risiko melahirkan anak kerdil.
Kemenkes juga menelurkan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) di mana petugas medis di Puskesmas aktif mendatangi rumah warga untuk mengecek kondisi kesehatan anggota keluarga dan lingkungannya.
Program pengentasan anak kerdil ini kemudian dilanjutkan lebih spesifik oleh berbagai kementerian-lembaga termasuk pemerintah daerah di bawah koordinasi Wapres Jusuf Kalla. Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (TP2AK) dibentuk dengan tujuan mencegah stunting dari sisi penyediaan air bersih dan sanitasi yang dilakukan Kementerian PUPR, berbagai program sosialisasi dan edukasi yang disisipkan di Dana Desa melalui Kementerian Desa, dan lain-lain.
Dari hasil kerja gabungan seluruh kementerian lembaga tersebut, angka stunting pada 2019 berhasil kembali ditekan menjadi 27,67 persen. Dengan ini pemerintah Jokowi-JK selama lima tahun berhasil menurunkan stunting sebesar 9,6 persen dari 2013 sebesar 37,2 menjadi 27,6 pada 2019. Penurunan prevalensi tersebut membuat Indonesia yang tadinya dicap sebagai negara dengan kondisi kekerdilan tinggi menjadi pada level menengah.
Tentunya Wakil Presiden Ma'ruf Amin harus tetap melanjutkan program kerja Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil bersama kementerian-lembaga di bawah kabinet baru untuk mencapai target prevalensi stunting di bawah 20 persen seperti yang diminta oleh WHO.
Pemerintah memiliki target penurunan angka stunting mencapai 19 persen hingga akhir masa pemerintahan Jokowi-Amin yaitu 2024. Jika tren penurunan kekerdilan pada anak bisa dipertahankan seperti periode 2018-2019 di kisaran 3 persen per tahun, maka pada 2024 prevalensi stunting bisa mencapai 15 persen. Jauh lebih rendah dari yang ditetapkan WHO.
Sebagaimana visi Presiden Jokowi sendiri yang menginginkan sumber daya manusia Indonesia menjadi SDM yang unggul. Hal itu hanya bisa dilakukan jika bibit SDM sejak awal sudah unggul dengan kondisi kesehatan yang prima, dan tidak stunting agar memiliki otak nan cemerlang.
Baca juga: Pakar gizi: Hidden hungger jadi PR pemerintah dalam masalah gizi
Baca juga: Cegah kekerdilan dengan perilaku hidup sehat
BPJS Kesehatan
Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan memang tidak berjalan mulus sejak penerapannya pada 2014 hingga saat ini. Harus diakui masih banyak kekurangan di sana-sini dalam pengelolaan asuransi kesehatan sosial sejak 2014 hingga 2019.
Defisit keuangan BPJS Kesehatan hingga harus menunggak pembayaran klaim pada rumah sakit dan berdampak pada pelayanan kepada pasien menjadi yang paling disorot. Namun patut diakui juga bahwa program JKN yang di bawah pengelolaan BPJS Kesehatan telah membantu banyak masyarakat Indonesia dalam mengakses fasilitas layanan kesehatan.
Banyak masyarakat miskin dan tidak mampu yang tadinya tidak mau berobat ke rumah sakit lantaran ngeri dengan biayanya yang mahal kini sudah bisa mendapatkan layanan kesehatan yang sebagian besar gratis.
Sepanjang tahun 2018, masyarakat Indonesia menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan untuk berobat ke Puskesmas, klinik, dan rumah sakit mencapai 233,9 juta kali. Jumlah tersebut berlipat ganda pada 2019 di periode Januari hingga Agustus dengan total penggunaan layanan kesehatan mencapai 277,9 juta kali.
Namun dari meningkatnya akses layana kesehatan bagi masyarakat Indonesia yang luar biasa tersebut, terdapat pihak yang "dikorbankan" karena iuran BPJS Kesehatan terlampau kecil dan sistem yang belum sempurna.
Pihak rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta harus rela ditunda pembayaran klaimnya dalam beberapa bulan. Selain itu juga para tenaga medis baik dokter, perawat, dan lainnya juga harus bersabar gajinya dibayar terlambat karena pembayaran klaim yang juga telat.
Hal itu dikarenakan defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan. Sejak 2015 hingga 2018 negara melalui Kementerian Keuangan selalu menggelontorkan dana tambahan untuk menutup defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan tersebut, untuk keberlangsungan program JKN yang digunakan untuk membayar klaim pada rumah sakit.
Baca juga: Kemenkeu tolak tambal defisit BPJS Kesehatan lewat dana daerah
Baca juga: Menkeu perkirakan defisit BPJS Kesehatan meningkat jadi Rp32,8 triliun
Pada 2019 ini Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak mau lagi menggelontorkan uang secara cuma-cuma kepada BPJS Kesehatan, tetapi harus dilakukan pembenahan secara menyeluruh di tubuh pengelola JKN, yakni BPJS Kesehatan.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, dan juga Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sudah ratusan kali rapat untuk membenahi BPJS Kesehatan ini, yang salah satunya adalah kenaikan iuran.
Hingga kini persoalan keuangan BPJS Kesehatan belum juga diselesaikan oleh Presiden Joko Widodo. Para pemangku kepentingan termasuk bersama Komisi IX DPR RI sudah menyepakati adanya kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan dengan besaran telah ditetapkan, yang kini keputusan akhirnya hanya ada di tanda tangan Presiden Joko Widowo.
Banyak pakar yang berpendapat bahwa pemerintah harus menyelamatkan program Jaminan Kesehatan Nasional yang telah memberikan banyak sekali manfaat pada masyarakat. Karena apabila BPJS Kesehatan bangkrut dan asuransi kesehatan sosial JKN dihapuskan, kondisi kesehatan masyarakat akan kembali seperti dulu kala di mana banyak warga tidak mampu yang sakit dan hanya menderita di rumah tanpa pengobatan.
Para menteri terkait di kabinet Jokowi-Amin lah yang kedapatan tugas "pekerjaan rumah (PR)" untuk menyelesaikan berbagai masalah untuk membenahi persoalan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan.
Baca juga: BPJS Kesehatan digunakan 277,9 juta kali hingga Agustus
Baca juga: Program JKN-KIS telah cakup 84,1 persen penduduk Indonesia
Baca juga: JKN-KIS jadi contoh asuransi sosial tingkat internasional
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2019